Dalam
sebuah pelatihan EQ (kecerdasan emosi) sering ditemukan sesi-sesi dimana
pesertanya diharapkan dapat menceritakan sekelumit pengalaman pribadinya yang
sangat berkesan sepanjang hidupnya. Pada awalnya banyak yang ragu untuk
berbagi, ada ketidaknyamanan untuk menceritakan apa yg dipendamnya selama ini dan
diceritakan ke seseorang atau sekelompok orang yang baru dikenalnya beberapa
hari sebelumnya. Memang tidak mudah bagi siapapun untuk bisa langsung terbuka,
apalagi untuk hal-hal yang menurutnya tak menjadi prestasi baginya. Ada
kekhawatiran bila orang lain akan menganggap keterbukaan itu sebagai sebuah aib
yang dapat merugikan bagi yang menceritakannya. Makanya ketika mentor dalam
pelatihan tersebut menyampaikan keinginan tersebut, tidak banyak peserta yang
berani mengacungkan tangan untuk memulainya.
Pada dasarnya setiap manusia
memiliki rahasia yang hanya boleh dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan ada
keengganan untuk menyampaikan kondisi pribadi itu kepada orang lain, sekalipun
orang itu telah dikenalnya cukup lama. Beberapa alasan yang sering muncul
adalah kita tidak terlalu banyak tahu tentang orang tersebut, kita tidak
terlalu dekat bathinnya, kita bukanlah sahabat karib dan sejumlah alasan
lainnya, atau bahkan keterbukaan dan kejujuran tersebut akan membuat suasana
lebih tidak nyaman. Kerahasiaan pribadi
memang sangat dibutuhkan, dan bukanlah merupakan sesuatu yang diketahui oleh umum.
Menjaganya juga tidaklah mudah.
Sejalan dengan perkembangan waktu,
dimana perkembangan teknologi komunikasi tumbuh begitu cepatnya ditandai dengan
menjamurnya pengguna telepon genggam sebagai alat komunikasi yang paling
populer antar individu dan komunitas, berdampak juga pada bergesernya cara
untuk menyampaikan isi pesan termasuk letupan-letupan emosi dalam hati dari setiap individu.
Pola penyampain emosi kadangkala tidak lagi membutuhkan teman karib untuk bisa
berbagi rasa. Teknologi menjadi pendamping siapapun ketika mengalami fase
emosional. Perasaan emosi sekarang sudah bisa divisualisasikan melalui gambar
dan tulisan yang bisa dinikmati oleh
jaringan pertemanan. Bahkan bentuk-bentuk emosi sudah bisa divisualisasikan
dalam bentuk gambar yang lebih mudah dicerna yang dikenal dengan istilah “emoticon”. Tidak jarang
umpatan-umpatan, kemarahan, kesedihan, kegembiraan dan bahagia dapat dengan
mudah kita lihat dari apa yang diekspresikan di jejaring social tersebut.
Banyak yang mendukung dengan memberikan nasehat, pujian, penghargaan dan juga
hadiah, tetapi kadangkala ada juga yang mencibir dan masih menganggapnya sebagai suatu yang
berlebihan alias “lebay”.
Terlepas dari isi pesannya seperti
apa, kecenderungan menunjukkan bahwa keinginan untuk bisa mengekpresikan
ketidaksukaan maupun kesukaan terhadap sesuatu tidak lagi hanya konsumsi dalam
lingkaran keakraban. Kecenderungan ini merupakan signal yang mudah ditangkap oleh pelaku bisnis sebagai suatu
peluang bisnis yang menggiurkan. Membangun jejaring social adalah target dari
penciptaan setiap teknologi baru yang memiliki nilai ekonomis. Begitu
populernya Blackberry Messenger (bbm) merupakan sebuah bukti dimana teknologi
yang mampu membangun jejaring social sangat dibutuhkan dan dapat menggeser
teknologi lainnya yang lebih konvensional. Konsep jejaring ini juga menjadi
ikon yang popular saat ini. Anak-anak kecil telah memiliki Blackberry dan bisa
sharing pengalaman dan perasaannya di media social tersebut. Dan bahkan tidak
sedikit pejabat yang memiliki jejaring twitter, entah karena digunakan atau
sebatas gaya-gayaan. Hampir sebagian besar sekolah sekolah dan perusahaan memiliki jejaring
social disamping untuk memperkenalkan produk, juga membangun entitas komunitas.
Sejalan dengan perkembangan tersebut,
mulai tumbuh beberapa jejaring social lainnya yang memiliki “penggemar” dan
“kebutuhan” yang berbeda. Beberapa dari kita pasti tidak asing lagi dengan
jejaring facebook, twitter, Linkedin, Two, dan banyak lagi program yang dibuat
untuk membangun komunitas. Komunitas yang tak terbatas oleh batasan-batasan
geografis, bahasa, gender, pemikiran, usia dan pendapatan. Komunitas yang
dibangun atas dasar keinginan berteman dan bersahabat, dan berujung pada
transaksi perdagangan.
Merebaknya jejaring social tidak
luput membuat pemerintah kelimpungan untuk membuat regulasi yang mengaturnya,
dari regulasi yang bersifat populis hingga regulasi yang mengontrol secara
detil pergerakannya. Walaupun dalam prakteknya banyak tentangan tentang
kebijakan-kebijakan pengontrolan tersebut. Pekerjaan terbesar pemerintah adalah
bagaimana jejaring social ini tidak dipergunakan untuk hal-hal bersifat
criminal dan bahkan kontraproduktif dengan program-program pemerintah.
Terlepas dari itu, perkembangan
teknologi komunikasi yang pesat membuat kelompok-kelompok jejaring social ini
juga menjadi target tidak hanya bagi pelaku bisnis, tapi juga pelaku kejahatan.
Tidak sedikit orang tua merasa was-was akan pergaulan anaknya. Meningkatnya
kasus keluarga yang kehilangan putrinya dan memilih temannya yang baru dikenal
di jejaring social menjadi pendorong keterlibatan orang tua secara penuh dengan
dan turut aktif terjun mengikuti trend ini.
Banyak hal positif dari terbangunnya
jejaring social ini, tingkat kepedulian terhadap kasus-kasus kemanusiaan justru
merebak di jejaring social ini. Koin kemanusiaan, banyak digalang oleh
kelompok-kelompok kecil dan menggelinding menjadi suatu hal yang besar, koin
kemanusiaan untuk prita mulyasari salah satu contohnya, dan banyak lagi
peristiwa-peristiwa social terbantu oleh adanya jejaring social ini. Andaikata
“roh” kepeduliaan ini berhasil ditangkap dengan baik oleh pemerintah maka hal
ini dapat menjadi sarana terbaik bagi pemerintah dalam mensosialisasikan
program-programnya. Selain adanya program-program kepeduliaan. Jejaring social
juga menjadi media yang tepat untuk pembelajaran bagi peningkatan pengetahuan, akses
informasi, dan perluasan lapangan kerja. Jejaring social ini juga bisa menjadi
media membangun karakter bangsa melalui diskursus-diskursus dan argumentasi-argumentasi kebangsaan.
Media jejaring social telah merambah
semua lini dan tingkatan masyarakat, dan tidak lagi hanya menjadi konsumsi
masyarakat perkotaan. Istilah FB, BBM, PP, Texting, Invite, emoticon, status,
dll, sudah menjadi bahasa umum, yang dengan mudah dapat dicerna semudah kita
menyebutkannya. Yang menjadi pertanyaan kita apakah jejaring social yang berpondasi
teknologi ini dapat diselaraskan dengan
jejaring-jejaring social yang bersifat tradisional seperti rapat-rapat RT,
karang taruna, hanya yang kreatif yang bisa menjawabnya. Andakah itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar