Minggu, 23 September 2012

Dibutuhkan Seorang Avatar.......


The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.
-          Mahatma Gandhi

Akhir-akhir ini pemerintah DKI sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan infrastruktur di berbagai bidang dengan mengacu pada kritikan terhadap tiga masalah utama yg tak kunjung berakhir yaitu; banjir dan kemacetan, dan premanisme. 


Seperti layaknya proyek-proyek yang telah dilaksanakan sebelumnya, semuanya mengharapkan masalah yang selama ini mereka jalani sedikit demi sedikit bisa diatasi kedepannya, dan keluhan-keluhan masyarakat akan berkurang.  Namun realitanya, setiap proyek selalu membawa implikasi yang tidak ringan pada saat dijalankan, yaitu;  penggusuran lahan hingga kemacetan, baik kemacetan fisik maupun kemacetan pikiran dan moral.


Penggusuran, kemacetan dan premanisme bukanlah suatu yg asing lagi ditelinga masyarakat Jakarta, problem yang muncul menggelinding begitu saja, dan kadangkala masyarakat sudah tak peduli lagi dampaknya, dan sudah bosan untuk memperdebatkannya. Kepedulian masyarakat tampaknya sudah mulai menyurut, sehingga setiap proyek dan aktivitas  yang dijalankan pemerintah cenderung minim dukungan. Yang muncul justru lebih pada opini politis, bahwa proyek dan aktivitas  diadakan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam rangka kedudukan dan jabatan politis kedepannya. Contohnya adalah pengerjaan proyek infrastruktur. Tanpa disadari bahwa tujuan mulia dari proyek-proyek infrastruktur justru terdestruksi oleh cara dan pendekatan yang dilakukan dalam menjalankan proyek tersebut. Tak bisa dipungkiri adalah hampir sebagian besar proyek yang dijalankan lahir dari kritikan, kekurangperawatan terhadap infrakstruktur yang ada, dan bahkan cenderung untuk menghabis-habiskan anggaran dalam rangka mengejar setoran laporan APBD dan APBN setiap tahunnya.


Proyek-proyek kejar setoran cenderung berbiaya besar, dan akan memunculkan kubangan besar tempat bercokolnya penyimpangan-penyimpangan. Sudah banyak proyek yang dengan terpaksa dihentikan oleh karena indikasi munculnya kecurangan dan penyimpangan. Ini mereflekdikan bahwa jalan pintas menjadi target pemerintah sebagai akibat realisasi janji-janji pada saat pemenangan  pemilu, sementara disisi lain banyak pegawai negeri tidak mau lagi menjadi pimpro sebagai akibat kekhawatiran akan dikejar-kejar KPK setelahnya. Mindset penyimpangan dan korupsi telah mengakar, sehingga orang yang bersihpun takut menjalankannya, takut kepleset  atau takut melanggar aturan yang kadangkala tak diketahui oleh pelaksana  dan kadangkala sering berubah-ubah.


Manajemen proyek yang tak terintegrasi antar lembaga dan aparatur menyebabkan terjadinya in-efisiensi cost yang dikeluarkan dari anggaran yg dibiayai oleh rakyat melalui pungutan pajak dan restribusi daerah. Proyek yang dikelola secara tidak profesional dan minim pengawasan cenderung menjadi suatu yang kasat mata. Masyarakat menjadi marah ketika mengetahui dana yang mereka kumpulkan melalui pungutan pajak dan retribusi daerah ternyata di korupsi oleh pegawai pajak sendiri melalui proses kongkalikong dan juga oleh mafia nggaran yang ada di badan legislatif. Akibatnya, dana dan anggaran daerah untuk pembangunan tidak besar, proyek sedikit yang tergarap, dan kepuasan masyarakat menjadi berkurang. Disamping itu prioritas pengerjaan proyek dengan dana terbatas menyebabkan proyek yang dijalankan terkesan tambal sulam dan  pengerjaannya pun terasa sangat lambat, sedangkan dari tahun ketahun tuntutan masyarakat semakin besar. Konsekuensinya, pemerintah dituntut berlari mengejar target-target proyek tersebut. 


Kendala terbesar datang justru dari SDM aparatur pemerintah sendiri, apakah telah siap berlari untuk mengejar target tersebut, ataukah hanya duduk manis dan  terdiam dengan harapan selalu menerima gaji buta. Kesiapan aparatur ternyata menjadi problem tersendiri bagi pembangunan.  Terasa sangat kontradiktif ketika banyak sarjana-sarjana masih mengidolakan untuk menjadi aparat pemerintahan dan peminatnya sangat besar ketika pemerintah mengumumkan lowongan pegawai negeri. Beribu-ribu sarjana berlomba-lomba memperebutkan posisi dan status PNS dengan berbagai pendekatan dan cara. Dan bahkan ada yg gelap mata memanfaatkan disparitas supply demand seperti layaknya sebuah pasar tenaga kerja. KKN yang sejak orde reformasi mulai diharamkan dan ditinggalkan, ternyata hanya wacana, pola rekrutment yg belum merit system, dan transparansi yg hanya sebuah cita-cita, menyebabkan pengumuman lowongan kerja menjadi peluang kerja bagi makelar-makelar tenaga kerja untuk menebarkan janji-janji dan tipuan untuk mendapatkan segepok uang keberuntungan.


Ada kekhawatiran besar muncul dari ketertarikan generasi muda berbondong-bondong melamar sebagai calon PNS. Tanpa dibekali kekuatan moral dapat dibayangkan apa jadinya para PNS ini dalam bertindak sebagai aparatur pelayanan masyarakat. Idealisme yang dibawa akan luntur oleh tekanan lingkungan birokrasi yang koruptif. Diamond in garbage out, sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi bila para generasi muda yg brilian dengan penuh idealisme harus terkungkung oleh garis birokrasi paternalistik yang koruptif. Rasanya perlu dilakukan amputasi birokrasi untuk memutus rantai korupsi. Hal ini diperlukan oleh karena proses hukum ternyata tidak membawa efek jera bagi pelaku lainnya. 


Disamping peran pelaksana kebijakan tak kalah pentingnya adalah peran pembuat kebijakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kebijakan bersifat “bottle neck”, kebijakan yang dibuat seolah-olah mengerucut, tapi sebenarnya membuat macet segala hal, kebijakan yang bukannya membuat sesuatu lebih mudah dan baik, ternyata membuat kebuntuan, semakin buntu semakin baik sehingga kebijakan sengaja dibuat agar ada celah untuk melakukan pelanggaran dan memudahkan munculnya intervensi yang berdampak pada biaya siluman, under table money. kebijakan yang dibuat bernuansa jangka pendek, seumur pembuat kebijakan dapat bertahan di kursi legislatif. Ujung-ujungnya  kongkalikong. 


Harapan masyarakat rasanya tak berujung pada perbaikan. Rakyat semakin gerah terhadap janji-janji perubahan yang diberikan pemerintah. “negara auto pilot”, menjadi jargon yg cukup dikenal oleh masyarakat saat ini, oleh karena pandangan bahwa pemerintah tidak eksis, pemerintah hanya sebuah nama tanpa makna.  Negara dapat berjalan tanpa adanya pemerintah. Pemimpinnya hanya bisa berkata “prihatin”. Rakyat merasa berhak mengatur dirinya masing-masing, bentrokan antar warga terjadi dimana-mana. Banyak tumbuh organisasi preman bernuansa SARA tanpa mampu mengendalikan. Pancasila tidak lagi menjadi pedoman bagi generasi muda. Pemaksaan kehendak oleh buruh dengan melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan dihalalkan, kepolisian hanya bisa terdiam karena khawatir kerusuhan. Koruptor seperti layaknya artis, dikunjungi pejabat-pejabat tinggi ketika ditahan dengan alasan memberi dukungan moral. Sepertinya bangsa ini telah sakit. Akankah bangsa ini sembuh dan siap berubah.


Perubahan yang diharapkan adalah lebih pada perubahan mindset pembangunan, yaitu mindset yang mengembalikan hakekat pelayanan ke arah esensi yang sebenarnya. Pelayanan yang didasarkan pada pengabdian pada rakyat. Saat ini tanpa disadari bahwa birokrat tidak lagi menjadi pelayan masyarakat, birokrat justru ingin dilayani. Bila ingin memberikan pelayanan selalu minta imbalan. Meminta secara terang-terangan tanpa basa basi, dan tanpa rasa malu.  Kondisi ini telah berakar sejak puluhan tahun yang lalu, sejak orde baru hingga saat ini belum berubah dan masih terjadi di berbagai lini. Banyak politisi, birokrat, pengusaha yang ditangkap karena KKN ini, dan masih bisa tersenyum sumringah dengan rasa tak bersalah, mencari dalih disertai pendamping pengara-pengacara terkenal yang berbayar mahal dan pandai bersilat lidah. Hukum hanya sebuah dagelan.  Reformasi sebagai bahasa yg halus untuk perubahan ternyata tidak mampu menggerakkan dan membebaskan bangsa ini dari KKN. Prilaku koruptif  itu seperti penyakit tumor yang mematikan bangsa ini. 
 

Dukungan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk memerangi prilaku koruptif ini, KPK harus diperkuat. Aparat hukum harus dibersihkan, karena sapu yang kotor tidak akan bisa membersihkan koruptor. Pemilu haruslah memilih orang yang tepat, yang lebih memiliki idealisme dalam membangun bangsa ini. NKRI dan pancasila harus dijadikan pedoman berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan pemimpin yang berani, tegas, brilian dan kuat untuk melakukan reformasi yang sebenar-benarnya. Pemimpin yang tidak memiliki dosa kesejarahan yang dapat membebaninya . Pemimpin yang teguh menegakkan prinsip-prinsip yang tak koruptif yang dapat dijadikan teladan oleh bangsa ini. Bila boleh bermimpi, berharap muncul seorang Avatar yang akan menyelamatkan bangsa ini. Siapakah dia? ..... Kita tunggu tanggal mainnya di episode berikutnya....