The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure
without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality,
Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without
principles.
-
Mahatma Gandhi
Akhir-akhir ini
pemerintah DKI sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan infrastruktur
di berbagai bidang dengan mengacu pada kritikan terhadap tiga masalah utama yg
tak kunjung berakhir yaitu; banjir dan kemacetan, dan premanisme.
Seperti layaknya
proyek-proyek yang telah dilaksanakan sebelumnya, semuanya mengharapkan masalah
yang selama ini mereka jalani sedikit demi sedikit bisa diatasi kedepannya, dan
keluhan-keluhan masyarakat akan berkurang.
Namun realitanya, setiap proyek selalu membawa implikasi yang tidak
ringan pada saat dijalankan, yaitu;
penggusuran lahan hingga kemacetan, baik kemacetan fisik maupun
kemacetan pikiran dan moral.
Penggusuran,
kemacetan dan premanisme bukanlah suatu yg asing lagi ditelinga masyarakat
Jakarta, problem yang muncul menggelinding begitu saja, dan kadangkala
masyarakat sudah tak peduli lagi dampaknya, dan sudah bosan untuk
memperdebatkannya. Kepedulian masyarakat tampaknya sudah mulai menyurut,
sehingga setiap proyek dan aktivitas yang
dijalankan pemerintah cenderung minim dukungan. Yang muncul justru lebih pada
opini politis, bahwa proyek dan aktivitas diadakan untuk mendapatkan dukungan masyarakat
dalam rangka kedudukan dan jabatan politis kedepannya. Contohnya adalah
pengerjaan proyek infrastruktur. Tanpa disadari bahwa tujuan mulia dari
proyek-proyek infrastruktur justru terdestruksi oleh cara dan pendekatan yang
dilakukan dalam menjalankan proyek tersebut. Tak bisa dipungkiri adalah hampir
sebagian besar proyek yang dijalankan lahir dari kritikan, kekurangperawatan
terhadap infrakstruktur yang ada, dan bahkan cenderung untuk menghabis-habiskan
anggaran dalam rangka mengejar setoran laporan APBD dan APBN setiap tahunnya.
Proyek-proyek
kejar setoran cenderung berbiaya besar, dan akan memunculkan kubangan besar
tempat bercokolnya penyimpangan-penyimpangan. Sudah banyak proyek yang dengan
terpaksa dihentikan oleh karena indikasi munculnya kecurangan dan penyimpangan.
Ini mereflekdikan bahwa jalan pintas menjadi target pemerintah sebagai akibat
realisasi janji-janji pada saat pemenangan pemilu, sementara disisi lain banyak pegawai
negeri tidak mau lagi menjadi pimpro sebagai akibat kekhawatiran akan
dikejar-kejar KPK setelahnya. Mindset
penyimpangan dan korupsi telah mengakar, sehingga orang yang bersihpun takut
menjalankannya, takut kepleset atau takut
melanggar aturan yang kadangkala tak diketahui oleh pelaksana dan kadangkala sering berubah-ubah.
Manajemen
proyek yang tak terintegrasi antar lembaga dan aparatur menyebabkan terjadinya in-efisiensi
cost yang dikeluarkan dari anggaran yg dibiayai oleh rakyat melalui pungutan
pajak dan restribusi daerah. Proyek yang dikelola secara tidak profesional dan
minim pengawasan cenderung menjadi suatu yang kasat mata. Masyarakat menjadi
marah ketika mengetahui dana yang mereka kumpulkan melalui pungutan pajak dan
retribusi daerah ternyata di korupsi oleh pegawai pajak sendiri melalui proses
kongkalikong dan juga oleh mafia nggaran yang ada di badan legislatif.
Akibatnya, dana dan anggaran daerah untuk pembangunan tidak besar, proyek
sedikit yang tergarap, dan kepuasan masyarakat menjadi berkurang. Disamping itu
prioritas pengerjaan proyek dengan dana terbatas menyebabkan proyek yang
dijalankan terkesan tambal sulam dan pengerjaannya
pun terasa sangat lambat, sedangkan dari tahun ketahun tuntutan masyarakat
semakin besar. Konsekuensinya, pemerintah dituntut berlari mengejar
target-target proyek tersebut.
Kendala terbesar datang justru dari SDM aparatur
pemerintah sendiri, apakah telah siap berlari untuk mengejar target tersebut,
ataukah hanya duduk manis dan terdiam
dengan harapan selalu menerima gaji buta. Kesiapan aparatur ternyata menjadi
problem tersendiri bagi pembangunan. Terasa sangat kontradiktif ketika banyak
sarjana-sarjana masih mengidolakan untuk menjadi aparat pemerintahan dan peminatnya
sangat besar ketika pemerintah mengumumkan lowongan pegawai negeri. Beribu-ribu
sarjana berlomba-lomba memperebutkan posisi dan status PNS dengan berbagai
pendekatan dan cara. Dan bahkan ada yg gelap mata memanfaatkan disparitas supply demand seperti layaknya sebuah
pasar tenaga kerja. KKN yang sejak orde reformasi mulai diharamkan dan ditinggalkan,
ternyata hanya wacana, pola rekrutment yg belum merit system, dan transparansi yg hanya sebuah cita-cita,
menyebabkan pengumuman lowongan kerja menjadi peluang kerja bagi
makelar-makelar tenaga kerja untuk menebarkan janji-janji dan tipuan untuk
mendapatkan segepok uang keberuntungan.
Ada kekhawatiran besar muncul dari ketertarikan generasi
muda berbondong-bondong melamar sebagai calon PNS. Tanpa dibekali kekuatan
moral dapat dibayangkan apa jadinya para PNS ini dalam bertindak sebagai aparatur
pelayanan masyarakat. Idealisme yang dibawa akan luntur oleh tekanan lingkungan
birokrasi yang koruptif. Diamond in
garbage out, sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi bila
para generasi muda yg brilian dengan penuh idealisme harus terkungkung oleh
garis birokrasi paternalistik yang koruptif. Rasanya perlu dilakukan amputasi
birokrasi untuk memutus rantai korupsi. Hal ini diperlukan oleh karena proses
hukum ternyata tidak membawa efek jera bagi pelaku lainnya.
Disamping peran pelaksana kebijakan tak kalah pentingnya
adalah peran pembuat kebijakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kebijakan
bersifat “bottle neck”, kebijakan yang dibuat seolah-olah mengerucut, tapi
sebenarnya membuat macet segala hal, kebijakan yang bukannya membuat sesuatu
lebih mudah dan baik, ternyata membuat kebuntuan, semakin buntu semakin baik
sehingga kebijakan sengaja dibuat agar ada celah untuk melakukan pelanggaran
dan memudahkan munculnya intervensi yang berdampak pada biaya siluman, under table money. kebijakan yang dibuat
bernuansa jangka pendek, seumur pembuat kebijakan dapat bertahan di kursi
legislatif. Ujung-ujungnya kongkalikong.
Harapan masyarakat rasanya tak berujung pada perbaikan.
Rakyat semakin gerah terhadap janji-janji perubahan yang diberikan pemerintah.
“negara auto pilot”, menjadi jargon yg cukup dikenal oleh masyarakat saat ini,
oleh karena pandangan bahwa pemerintah tidak eksis, pemerintah hanya sebuah
nama tanpa makna. Negara dapat berjalan
tanpa adanya pemerintah. Pemimpinnya hanya bisa berkata “prihatin”. Rakyat
merasa berhak mengatur dirinya masing-masing, bentrokan antar warga terjadi
dimana-mana. Banyak tumbuh organisasi preman bernuansa SARA tanpa mampu
mengendalikan. Pancasila tidak lagi menjadi pedoman bagi generasi muda.
Pemaksaan kehendak oleh buruh dengan melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan
dihalalkan, kepolisian hanya bisa terdiam karena khawatir kerusuhan. Koruptor
seperti layaknya artis, dikunjungi pejabat-pejabat tinggi ketika ditahan dengan
alasan memberi dukungan moral. Sepertinya bangsa ini telah sakit. Akankah
bangsa ini sembuh dan siap berubah.
Perubahan yang diharapkan adalah lebih pada perubahan
mindset pembangunan, yaitu mindset yang mengembalikan hakekat pelayanan ke arah
esensi yang sebenarnya. Pelayanan yang didasarkan pada pengabdian pada rakyat. Saat
ini tanpa disadari bahwa birokrat tidak lagi menjadi pelayan masyarakat,
birokrat justru ingin dilayani. Bila ingin memberikan pelayanan selalu minta
imbalan. Meminta secara terang-terangan tanpa basa basi, dan tanpa rasa
malu. Kondisi ini telah berakar sejak
puluhan tahun yang lalu, sejak orde baru hingga saat ini belum berubah dan masih
terjadi di berbagai lini. Banyak politisi, birokrat, pengusaha yang ditangkap
karena KKN ini, dan masih bisa tersenyum sumringah dengan rasa tak bersalah,
mencari dalih disertai pendamping pengara-pengacara terkenal yang berbayar
mahal dan pandai bersilat lidah. Hukum hanya sebuah dagelan. Reformasi sebagai bahasa yg halus untuk
perubahan ternyata tidak mampu menggerakkan dan membebaskan bangsa ini dari
KKN. Prilaku koruptif itu seperti
penyakit tumor yang mematikan bangsa ini.
Dukungan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk
memerangi prilaku koruptif ini, KPK harus diperkuat. Aparat hukum harus
dibersihkan, karena sapu yang kotor tidak akan bisa membersihkan koruptor.
Pemilu haruslah memilih orang yang tepat, yang lebih memiliki idealisme dalam
membangun bangsa ini. NKRI dan pancasila harus dijadikan pedoman berbangsa dan
bernegara. Dibutuhkan pemimpin yang berani, tegas, brilian dan kuat untuk
melakukan reformasi yang sebenar-benarnya. Pemimpin yang tidak memiliki dosa
kesejarahan yang dapat membebaninya . Pemimpin yang teguh menegakkan
prinsip-prinsip yang tak koruptif yang dapat dijadikan teladan oleh bangsa ini.
Bila boleh bermimpi, berharap muncul seorang Avatar yang akan menyelamatkan
bangsa ini. Siapakah dia? ..... Kita tunggu tanggal mainnya di episode
berikutnya....