Sangat menarik
bila kita amati apa yang terjadi dalam peta perpolitikan Indonesia akhir-akhir
ini, ditandai dengan munculnya partai-partai politik baru, dari yang berwarna
merah, hijau, biru, hingga warna yang sulit ditentukan penamaannya karena warnanya
tidak familiar bagi masyarakat kebanyakan. Sebagai catatan hingga pemilu 2009,
jumlah partai peserta pemilu terdaftar di KPU Pusat adalah 38 partai, dan setelah
pemilu terlihat hanya ada 10 partai yang memiliki jumlah pemilih yang
cukup besar, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Hanura,
Gerindra, dan PDS. Bukanlah hal aneh kiranya banyak anekdot dan joke yang
muncul dari begitu menggebu-gebunya para aktor-aktor politik dalam mendirikan
partai politik tersebut, dari yang mengatasnamakan demokrasi hingga yang tersirat seolah-olah ingin sekedar memanfaatkan kucuran dana pemilu yang nilainya cukup
lumayan untuk membeli segepok mimpi kekuasaan. Terlepas dari phenomena politik
tersebut dengan bersandar pada itikad
politik dari masing-masing aktor politik tadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa
kemunculan partai-partai politik tadi disebabkan oleh euphoria akibat dibukanya
kran pendirian partai politik sejak tumbangnya pemerintahan otoritarian Orde
baru tahun 1998.
Bila merunut
sejarahnya, fenomena munculnya sistem
multi partai di Indonesia dewasa ini mirip seperti apa yang terjadi beberapa
puluh tahun lalu, yang dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Hatta
pada tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini lahir sebagai salah satu bentuk
frustatif para pelaku politik akibat kekhawatiran mereka terhadap dominasi Presiden
yang secara pribadi masih mengagungkan sistem demokrasi terpimpin, dimana peran Dewan
Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang pada saat itu belum
terbentuk, tugas-tugasnya dijalankan oleh presiden. Sistem demokrasi terpimpin yang menempatkan
Presiden Soekarno sebagai satu-satunya pihak yang memiliki kekuasaan politik
dan militer, dikhawatirkan akan menyebabkan system demokrasi yang bertumpu pada
kekuatan rakyat tidak dapat berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, banyak
tokoh-tokoh politik yang diperkirakan menjadi pesaing dan berseberangan
pemikiran ditangkap dan diasingkan. Hal ini pernah terjadi pada tokoh-tokoh
PSI, seperti Syahrir dan Mr. Anak Agung Gde Agung, yang ditangkap dan
diasingkan di Madiun Jawa Timur oleh karena perbedaan ideology politiknya. Hal
ini juga digerakkan oleh kedekatan Presiden Soekarno terhadap tokoh-tokoh PKI
pada saat itu. Oleh karenanya, Hatta melalui maklumatnya mengusulkan untuk
membentuk Komite Nasional Pusat sebagai badan legislasi Negara sebagai langkah
antisipasi terhadap dominasi Presiden tersebut. Maklumat ini mendorong
munculnya partai-partai politik baru, sebagai bagian upaya untuk mendapatkan
dukungan politik untuk menduduki jabatan sebagai legislator. Dengan adanya
komite ini, maka diharapkan mampu merumuskan kebijakan dan perundang-undangan
yang dapat mengontrol sepak terjang Presiden pada saat itu.
Sejalan
perkembangan waktu, sistem demokrasi liberal yang ingin diciptakan pada saat
itu dan berusaha menegakkan demokrasi yang seutuhnya akhirnya belum bisa
menjadi obat bagi tumbuhnya demokrasi
yang lebih egaliter. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun lamanya, Pemerintah
yang diisi tokoh-tokoh partai politik silih berganti bertumbangan, pertentangan
politik semakin melebar, pembangunan semakin terhambat, sehingga muncul kekecewaan dari rakyat. Momentum ini,
benar-benar dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno saat itu untuk mengeluarkan
Dekrit Presiden, pada tanggal 5 juli 1959, yang isinya menegaskan langkah kembali
negara pada UUD 1945. Dan ini juga menjadi tonggak kembalinya demokrasi
terpimpin. Dengan jargon Bapak Bangsanya, Penyambung Lidah Rakyat, dan Panglima
Besar Revolusi, Soekarno kembali menancapkan pengaruhnya ke seluruh sendi-sendi
kemasyarakatan. Ditengah percaturan ideologi dunia, Indonesia tumbuh dan
terkontrol dalam kerangka demokrasi terpimpin. Dominannya peran presiden lambat
laun juga menjadi sorotan dan banyak muncul penentangan. Pertempuran ideologi
semakin meruncing disertai juga pertempuran yang bersifat fisik. Kembali rakyat
menjadi korban dari pertentangan ini.
Ideologi
demokrasi ini kembali teruji ketika tahun 1966, Soekarno dengan terpaksa
‘dilengserkan’ dari tampuk kekuasaan. Tahun 1966, adalah tonggak dimana
sebagian besar elemen masyarakat menginginkan adanya perubahan yang mendasar
dalam sistem perpolitikan, yang berusaha mencari rumusan jalan tengah antara
Demokrasi Terpimpin dan demokrasi Liberal. Dengan jargon Demokrasi Pancasila,
Soeharto berusaha menerapkan beberapa konsep demokrasi terpimpin melalui mempertahankan
kekuatan presidensial yang kuat, tetapi juga melakukan kompromi dengan
membentuk system kepartaian dan menyederhanakannya hanya menjadi 3 partai
politik saja. Melalui dukungan komponen kekaryaan yaitu ABRI, Birokrasi dan
Golkar, Soeharto mengendalikan semua sendi kehidupan kenegaraan. Tapi seperti kata Lord Acton “power tend to corrupt, absolute power
corrupt absolutely”, niat untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar
seakan-akan kehilangan arah. Soeharto dan kroni-kroninya merajalela menguasai
asset-asset ekonomi negara dan membaginya ke lingkaran terdekatnya. Kembali
kedaulatan rakyat teraniaya. Power yang
absolute tidak benar-benar digunakan
untuk kesejahteraan rakyat, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi dan
kroni. KKN merajalela, rakyat semakin terpuruk, kekesalan dan kekesalan mulai
merebak di sanubari rakyat. Gerakan ini memuncak bersamaan dengan gejolak
perekonomian di Indonesia dan kawasan sekitar yang bergerak menurun secara
cepat. Inflasi cukup tinggi, kurs mata uang tak terkontrol pergerakannya,
sehingga banyak industri yang mengalami kejatuhan dan banyak karyawan yang
harus dirumahkan dan bahkan harus kehilangan pekerjaannya. Dengan dimotori oleh
mahasiswa, maka tumbanglah rejim Orde Baru.
Bila kita
melihat proses transaksi politik yang ada, kebanyakan awalnya didasarkan pada
tujuan ideal. Namun lambat laun kenyataan dilapangan tidak dapat dibuktikan
sesuai seperti yang diharapkan. Ternyata akses dan kemudahan dapat melemahkan idealisme. Uang telah meruntuhkan
cita-cita luhur yang hendak dicapai. Kembali yang menjadi korban adalah rakyat
kebanyakan. Pergantian tampuk kepemimpinan hanya membawa dampak positif sesaat.
Demokrasi yang
lemah akan memunculkan Mobokrasi. Mobokrasi lahir ketika
tokoh-tokoh politik mulai bermunculan dan berusaha dengan segala caranya
mencari pengaruhnya di masyarakat sehingga terbentuk
pengelompokan-pengelompokan politik. Perebutan pengaruh yang tidak didasarkan
etika politik yang santun dan landasan moral yang kuat menyebabkan seringnya
kita temukan pertikaian-pertikaian politik yang tajam dari tokoh-tokoh politik
yang ada, dan bahkan melibatkan kekuatan massa. Yang kuat akan menjadi pemenang
dan kemenangan bagi yang kuat akan memunculkan raja-raja baru yang tidak lagi
menjalankan pemerintahan secara demokratis melainkan dengan cara otoriter.
Mobokrasi akan melahirkan tirani dan monarki absolute. Apa yang hendak diraih? Semangat
demokrasi yang dibangun dikalangan elite politik tentunya akan menjadi boomerang dari esensi paham demokrasi
tersebut, bila tidak disertai oleh upaya
pendidikan politik bagi masyarakat, baik sebagai anggota dari partai
politik maupun hanya sebagai simpatisan dari partai politik. Kasus yang terjadi
di beberapa pemilihan kepala daerah, dimana banyak terjadi kekalahan yang
berujung pada anarki, telah menjadi indikator nyata ketidakberhasilan elite
politik dalam mensosialisasikan dan mendidik masyarakat untuk dapat hidup dalam
harmoni demokrasi seperti halnya esensi dari demokrasi itu sendiri.
Jangan-jangan elit politiknya sendiri tidak memahami esensi sebenarnya dari
demokrasi itu. Terlepas dari pilihan anggota masyarakat yang dilandasi oleh norma
sosio-politiknya yang merupakan keyakinan individual, dapatlah digugat rasanya pemahaman
tentang esensi demokrasi yang selalu berujung pada penggunaan tindakan-tindakan
kekerasan dalam prakteknya.
Menarik sekali
jika kita mau melirik apa yang selalu menjadi catatan Alm. Dr. Alfian dalam berbagai artikel dan
bukunya mengenai pertumbuhan paham
demokrasi, sebagai acuan philosophis dari kemunculan paham ini, sehingga
pemaknaan dari esensi demokrasi dapat dicerna oleh masyarakat. Kelahiran paham
demokrasi tidak terlepas dari kegagalan penerapan system monarki dan oligarki,
dimana rakyat hanya menjadi korban dari proses politik dan kenegaraan yang ada.
Revolusi Perancis yang terjadi 14 Juli 1789, telah menjadi tonggak munculnya paham
demokrasi, dimana rakyat secara bersama-sama berusaha meruntuhkan penjara
Bastille yang menjadi symbol tirani monarki Louis XIV yang memiliki paham L’etat c’est moi – negara adalah saya.
Dengan Jargon perjuangan Libertie
(kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan), mereka
menegaskan keruntuhan paham monarki absolut di Perancis, sehingga terjadi
pergeseran pandangan menjadi suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dengan
keruntuhan paham monarki ini munculah kekuatan-kekuatan baru yaitu buruh,
petani dan kaum kapitalis. Ketiga kekuatan tadi mendominasi system politik
demokrasi dewasa ini dan menjadi kekuatan-kekuatan politik kepartaian yang
berkembang saat ini. Namun kembali kepandangan Lord Acton bahwa kekuasaan absolutlah yang memunculkan tirani.
Apapun bentuk system politik yang dianut bila tidak ada yang melakukan control
akan memunculkan tirani. Bagaimana dengan kita, adakah kekuatan pengontrol yang
kuat dari system politik di Indonesia? Banyak yang berharap pers mampu
melakukannya. Tapi kenyataannya sungguh berbeda, dimana lembaga pers yang kita harapkan sebagai
“fourth estate”, ternyata telah
menjadi kepunyaan tokoh-tokoh politik yang juga bersaing untuk merebut
kekuasaan. Akankah insan-insan pers bisa
menjadi independen ketika pemiliknya terlibat dalam upaya memperoleh kekuasaan.
Tentunya optimisme tetap ada, namun sejauh mana itu terbukti, kita kembalikan
ke insan pers sendiri untuk merenunginya. Akankah terlarut dalam tarik-menarik
pusaran percaturan politik yang ada, ataukah bisa bertindak bebas dan bertanggung
jawab bukan kepada pemilik modal atau majikan tetapi sejatinya kepada rakyat,
dan juga tak membiarkan mobokrasi menjatuhkan demokrasi…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar