Try not to become a
man of success but rather try to become man of value
Albert
Einstein
Dimana-mana kita sering mendengar orang berbicara
tentang keteladanan baik itu di warung-warung kopi, di lingkungan kerja, dalam
diskusi-diskusi akademis, bahkan dalam talk show di televisi dan kebanyakan cenderung
dengan nada yang sedikit “miring”, ‘miris”, maupun kadangkala diwujudkan oleh
munculnya perasaan “missing”. Temanya tak lebih sekitar kekecewaan dan
kekhawatiran akan ketiadaan figure yang dapat diteladani dan dapat dijadikan
contoh untuk diwujudkan dalam tindakan bersama dalam kehidupan sehari-hari dan
juga ketidakpercayaan terhadap figure kepemimpinan yang sudah ada.
Keteladanan secara harfiah dapat dimaknakan
sebagai suatu kondisi dimana kita atau siapapun dapat memberikan contoh kepada
yg dipimpin atau masyarakat tentang nilai , sikap dan prilaku yang patut
diikuti atau nilai-nilai yang bisa dikembangkan sebagai sebuah nilai bersama
dalam kelompok ataupun di masyarakat.
Hari ini, rabu 11 juli 2012, di ibukota negara
tercinta kita, sedang dilaksanakan sebuah perhelatan besar untuk memilih DKI 1
sebuah istilah yang diperuntukkan bagi siapapun yang menjabat gubernur di
provinsi DKI Jakarta . Pilkada DKI, diakui atau tidak merupakan barometer
perpolitikan nasional, sehingga semua partai politik maupun independent menganggap
bahwa Pilkada DKI sebagai gambaran Pemilu nasional. Berdasarkan data survey Indo Barometer yang
diris oleh Media Indonesia.com tanggal 12 Juli 2012, dari 6,9 juta penduduk
yang memiliki hak pilih yang menggunakan
hak pilihnya hanyalah 62,95 persent. Dari
angka tersebut terlihat bahwa ada peningkatan kenaikan Golput sebesar 2 % dari
Pilkada tahun 2007. Besarnya angka golput menunjukkan bahwa antusiasme untuk
memilih pimpinan daerah sudah mulai menurun. Kekhawatiran ini sebenenarnya
sudah dapat diprediksikan dari awal oleh pemerintah hingga tingkat kementerian
dalam negeri, sehingga mendorong mendagri mengeluarkan Surat Keputusan No
270-140 tentang Libur Pilkada DKI, SK
kemendagri ini kemudian dilanjutkan oleh keluarnya Pergub No 35 tahun 2012 yang
mengatur tentang libur pada saat Pilkada berlangsung. Walaupun isinya sedikit
salah kaprah karena meliburkan
perusahaan yang ada di DKI Jakarta , padahal tidak semua karyawannya memiliki
hak pilih di DKI Jakarta, namun upaya ini diharapkan sedikit membantu untuk
mengurangi kecenderungan Golput oleh karena tuntutan pekerjaan.
Kekhawatiran ini terasa wajar ditengah
kecenderungan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan
pemimpin politik saat ini. Survey yang dilaksanakan oleh CSIS di awal tahun
2012 yang dirilis oleh Antara News pada tanggal 13 Pebruari 2012 menunjukkan
tingkat penurunan kepercayaan terhadap partai politik cenderung meningkat. Tiga
partai besar yang sedang dan pernah berkuasa yaitu partai Demokrat, PDI dan
Golkar mengalami penurunan yang siginifikan sejak Pemilu tahun 2009, dan bahkan
48,4% pemilih tidak memiliki pilihan ketika ditanya partai mana yang akan
dipilih. Kepercayaan terhadap pemimpin yang berakar dari partai nampaknya mulai
menurun. Hal ini juga disebabkan sejak era reformasi semakin banyak elit-elit
partai yang terlibat dalam korupsi secara masiv.
Kemenangan Joko-Wi dan Ahok dalam quick count pilkada DKI Jakarta menunjukkan
terjadinya pergeseran pada detik-detik terakhir pemilih”swing voters’ terhadap kandidat yang dipilihnya. Kekuatan
figure kandidat nampak lebih dominan dalam proses pilkada saat ini, tokoh-tokoh
independen ternyata bisa mengungguli tokoh-tokoh dari partai yang memiliki
dukungan financial yang kuat. Kembali ke aspek keteladanan, kurangnya figure yang
dapat dipercaya akan berdampak buruk pada perkembangan demokrasi, apalagi
figure-figure tersebut berasal dari parpol. Bila ketidakpercayaan terhadap
parpol semakin melebar, dapat dibayangkan pergerakan mesin demokrasi akan
lambat laun terhenti. Seburuk-buruknya eksistensi parpol, namun tidak dapat
dipungkiri keberadaan parpol lebih dapat mengontrol pergerakan bola-bola liar
perpolitikan dan kekuasaan yang ada, daripada semua kandidat berasal dari jalur
independen.
Yang menjadi PR besar bagi partai politik adalah
bagaimana menjaring kader-kader yang secara umum dikenal bersih dan dapat
dipercaya oleh masyarakat. Semakin banyak mereka memiliki kader-kader seperti
itu, semakin terbangun rasa percaya dari masyarakat. Masyarakat yang madani dan
modern, pada dasarnya tidak lagi membutuhkan jargon-jargon serta janji-janji
kampanye, mereka lebih mengutamakan figure mana yang muncul.
Figure yang tepat tentunya tidak hanya figure yang
terkenal kesuksesannya di bidang ekonomi dan karena kekayaan finansial serta berdasarkan
garis keturunan dan kekerabatan tetapi figure
pemimpin harus bisa menciptakan nilai-nilai keteladanan positif yang tepat bagi
masyarakat. Keteladanan yang ditunjukkan melalui prilaku kepemimpinan
sehari-hari, bukan hanya melalui perkataan saja. Pemimpin harus ‘walk the talk’,
sesuai antara perkataan dan perbuatan. Pemimpin yang gagal, adalah pemimpin
yang tak mampu mengontrol hawa nafsunya, keserakahannya, niat negatifnya, serta
kehausannya akan prestise dan kekuasaan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang mampu menyelaraskan kekuatan intelektualnya, kekuatan emosionalnya serta keyakinan
akan nilai-nilai Ketuhanan, dan merealisasikannya dalam tindakan sehari-harinya.
Ternyata untuk menjadi pemimpin yang memiliki
karakter positif tidaklah mudah, pertentangan bathin sebagai manusia normal
serta pengaruh lingkungan yang cenderung lebih besar kadangkala membuat
pemimpin yang tadinya memiliki integritas tinggi lambat laun tergerus oleh
dorongan eksternal yang kuat. Pemimpin harus menamengi dirinya dari kepentingan
eksternal yang kurang baik. Dan demi pencarian figure yang tepat, lingkungan
hendaknya dapat membantunya.
Secara sederhana untuk menjadi pemimpin yang baik,
hendaknya menghindarkan prilaku2 yang kontradiktif. Menyarankan untuk tidak
korupsi, tapi justru melakukan. Menyarankan untuk berbagi, tetapi justru pelit.
Menyarankan untuk selalu berbuat baik, tapi mengingkari. Berniat menjadi
pelayan, justru minta dilayani. Menyarankan untuk disiplin tapi menjadi orang
pertama yang melanggarnya. Akankah figure ini dapat dipercaya dikemudian
harinya? Saya yakinkan jawabannya adalah tidak, walaupun awalnya muncul
kepercayaan, tapi lambat laun jal tersebut akan segera memudar. Jadi mencari pemimpin
yang baik pada dasarnya langka, namun ditengah kelangkaan tersebut kita masih
meyakini bahwa hal itu ada.
Secara kenergaraan dan kebangsaan, payung hukum terhadap
munculnya figure-figure independent serta berasal dari parpol yang memiliki
kredibilitas dan integritas yang baik harus diciptakan, mengingat di era
perpolitikan tidak menutup kemungkinan akan ada upaya jegal-menjegal
kepentingan karena berkaitan dengan kekuasaan dan uang. Disamping itu para
penjahat politik dan pelaku criminal yang terlibat dalam praktek-praktek
Korupsi, Kolusi dan nepotisme semaksimal mungkin tidak diijinkan untuk bebas
melakukan sepak terjangnya dan bahkan dipilih sebagai menjadi pemimpin ataupun
wakil rakyat. Pendidikan politik yang baik perlu digalakkan, sehingga mata
rakyat akan semakin terbuka lebar ketika memilih figure wakil dan pemimpinnya.
Perlu adanya gerakan moral bersama untuk
menggaungkan kepemimpinan yang berintegritas, memiliki character yang baik, bertindak
berdasarkan nilai-nilai moral dan hukum, serta mampu menjadi teladan positif
bagi masyarakat. Masyarakat yang sadar haruslah menjadi penggerak moral dari
proses pencarian ini dan tidak hanya diam dan pasrah, walaupun diam dan pasrah
juga merupakan pilihan…now or never…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar