Selasa, 25 Desember 2012

Bintang oh Bintang



Our lives are a sum total of the choices we have made.
~ Dr Wayne Dyer


Berusaha mencapai bintang, mungkin menjadi tagline yang tak asing bagi karyawan sebuah perusahaan besar di Jakarta. Mencapai bintang merupakan sebuah perumpamaan yang ingin ditanamkan  dan juga merupakan sebuah spirit positif  yang memprovokasi setiap elemen karyawan untuk memiliki angan-angan bisa menggapai dan menjadi “bintang”. Tapi akhir-akhir ini kata bintang cenderung bukanlah menjadi suatu yang positif. Bintang selalu dilekatkan pada keberhasilan fisik berupa kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran atau mengutip bahasa sosio politik upaya mencapai  triangle “gold, gospel dan glory”. 

Dalam keseharian kita, kita sering mendengar istilah-istilah yang mengunakan kata bintang, seperti bintang sinetron, bintang film, bintang iklan, bintang idola, dan bahkan bintang yang  melambangkan jenjang kepangkatan seperti halnya Jenderal ber ‘bintang”...... semuanya diartikan sebagai gambaran sebuah kesuksesan. Kata-kata bintang saat ini sering dikaitkan dengan pribadi-pribadi yang berhasil dalam menjalani posisi kariernya.

Untuk mencapai bintang tentunya bukanlah proses yang mudah, bukanlah proses sekedip mata ataupun secepat membalikkan tangan. Dibutuhkan usaha yang komprehensif dan juga energi yang cukup besar. Lazim dalam suku China kita kenal istilah “tiga H” sebagai bagian dari  upaya mencapai bintang. “H” yang pertama adalah Hongsui, atau lebih dikenal dengan peruntungan berdasarkan hal-hal metafisik diluar diri manusia seperti tata letak berdasarkan arah mata angin, lokasi ketinggian, waktu, ukuran dan juga hal-hal kebendaan lainnya. Ternyata selain Hongsui dibutuhkan juga “H” kedua yaitu Hokie. Hokie lebih dikenal sebagai wujud peruntungan yang didasarkan pada unsur manusianya baik itu karena bawaan lahir ataupun vibrasi oleh karena pengaruh hokie kelompok. Kedua “H” tersebut kadangkala dipercaya dapat membantu memberikan peruntungan bisnis untuk mencapai bintang. Tapi akhir-akhir ini Tuhan mungkin dihadapkan oleh suatu kondisi  kebingungan dan dilema, karena semua umatNya mengharapkan peruntungan berdasarkan Hongsui dan Hokie nya. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola antar negara, semua penduduk mengharapkan dan berdoa agar teamnya menang. Akhirnya Tuhan menciptakan “H” terakhir sebagai sebuah ujian. “H” ketiga adalah Hopeng atau dikenal dengan nama lain “uang”. Ternyata uang benar-benar menjadi batu ujian bagi umatNya. 

Uang adalah sesuatu hal yang selalu terbayang ketika kita berbicara kekuasaan, ketenaran dan kekayaan. Uang adalah alat tukar yang kadangkala mengalahkan kesederhanaan dan integritas pemegangnya. Uang kadangkala menjadi segalanya. Banyaknya uang menjadi ukuran keberhasilan untuk mencapai Bintang. Oleh karenanya, banyak yang berlomba-lomba untuk memperoleh uang. Dengan cara apapun ditempuh untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Dan bahkan ada yang mengunakan uang untuk mencari uang. 

Ternyata sangat sedikit dari umat manusia yang berhasil melewati batu ujian tersebut. Termasuk juga para “bintang” yang kita kenal, sudah banyak yang ternoda oleh uang, terseret dalam kasus baik itu kasus hukum maupun moral, oleh karena ingin mendapatkan uang ataupun ingin menghambur-hamburkan uang. Kondisi ini membuat pandangan masyarakat tentang bintang yang seharusnya terang benderang menjadi memudar. Tak sedikit artis-artis yang terlibat perselingkuhan, kawin cerai,  hingga artis-artis yang duduk dalam lingkaran kekuasaan terjerat oleh korupsi yang sangat besar. Ternyata hopeng adalah batu ujian yang cukup berat bagi umat manusia. 

Menyitir syair sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Akhmad Albar, “lagi lagi uang, o u o lagi lagi uang”, menjadi sebuah sindiran bagaimana  dashyatnya kekuatan uang di Negara kita ini. Banyak tokoh yang terjerembab oleh kekuasaan uang, bahkan para penegak hukum yang mengaku sebagai sebagai Wakil Tuhan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan pun tak lulus dari Ujian Tuhan. Hakim, Polisi dan Jaksa, yang dikenal sebagai tiga serangkai penegakan hukum, sekarang menjadi bulan-bulanan kena kasus hukum yang bermuara masalah uang. Tidak hanya para penegak hukum, bahkan uang “melibas” juga para Bintang di pemerintahan, di partai maupun di legislatif. Mungkin tak asing ditelinga kita pembicaraan tentang kasus Jaksa Urip yang tertangkap tangan ketika menerima suap dari Artalita Suryani, Hakim Agung Ahmad Yamani yang mengubah dan mengurangi hukuman mati gembong narkoba, IrJend. Polisi Joko Susilo yang terlibat mark-up alat simulasi di korlantas, Gayus Tambunan yang terlibat dalam kasus mafia Pajak, Wa Ode Nurhayati yang terlibat dalam kasus mafia anggaran, Nazarudin, Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng yang terjerembab oleh kasus infrastruktur Hambalang dan Para Gubernur serta Bupati yang terlibat dalam berbagai kasus-kasus korupsi, perselingkuhan dan penyalahgunaan wewenang.  

Ibarat membangun dengan susah payah menara setinggi-tinggi tapi ambruk terkena badai sehari, itulah gambaran yang paling tepat bagi para bintang tersebut. Banyak yang tertangkap oleh KPK, dihakimi publik dan ada yang bersedia mengundurkan diri dari jabatannya oleh karena tekanan opini masyarakat.  Begitu keroposnya fondasi yang dibangun ketika berfungsi sebagai “social climber”, bau bangkai yang ingin ditutupi bertahun-tahun akhirnya tercium juga. Hopeng sebagai bagian dari ujian Tuhan, ternyata telah berhasil mensintesa umatNya, dan memilah seolah-olah siapa yang akan masuk sorga dan siapa yang akan masuk neraka.   

Ternyata ujian terbesar yang dihadapi oleh para bintang bukan menghadapi kekuatan dari luar dirinya, tetapi dominan ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan dari dalam diri yang terbungkus sebagai nafsu pribadi. Ternyata alam semesta dimana tempat berdiamnya para bintang kenyataannya tidak tak terbatas seperti diibaratkan selama ini. Bintang beredar ternyata dibatasi oleh batasan-batasan yang kasat mata berupa nilai-nilai pribadi normatif yang bila dirusak oleh nafsu pribadi akan memberikan respon sebesar nafsu tersebut. Kekuatan yang terikat oleh hukum Newton dimana besaran aksi akan berdampak pada besaran reaksi yang sama. Atau dengan bahasa Teologi Hindu yang umum dikenal dengan istilah Karma

Ketika para bintang mengabaikan karmanya baik itu Sancita, Prarabda dan Kryamana, maka ia mengabaikan hakekat keseimbangan Rwabhineda kehidupan berupa gelap dan terang, pria dan wanita, gembira dan duka, hitam dan putih, sorga dan neraka dlsb. Melupakan rwabhineda kehidupan dengan hanya mau menerima salah satu sudut pemahaman dan mengabaikan sudut lainnya secara alamiah akan berdampak ke karmanya. Pendulum keseimbangan akan selalu mencari sudut yang seimbang. Dan keseimbangan adalah tidak hanya awal penciptaan alam semesta, tapi alam semesta dirawat dan dihancurkan pun dengan dasar keseimbangan tersebut. Maka Dipujalah Engkau “Brahma, Wisnu dan Ciwa”, sebagai simbol Trisakti Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Namaste.

Minggu, 23 September 2012

Dibutuhkan Seorang Avatar.......


The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.
-          Mahatma Gandhi

Akhir-akhir ini pemerintah DKI sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan infrastruktur di berbagai bidang dengan mengacu pada kritikan terhadap tiga masalah utama yg tak kunjung berakhir yaitu; banjir dan kemacetan, dan premanisme. 


Seperti layaknya proyek-proyek yang telah dilaksanakan sebelumnya, semuanya mengharapkan masalah yang selama ini mereka jalani sedikit demi sedikit bisa diatasi kedepannya, dan keluhan-keluhan masyarakat akan berkurang.  Namun realitanya, setiap proyek selalu membawa implikasi yang tidak ringan pada saat dijalankan, yaitu;  penggusuran lahan hingga kemacetan, baik kemacetan fisik maupun kemacetan pikiran dan moral.


Penggusuran, kemacetan dan premanisme bukanlah suatu yg asing lagi ditelinga masyarakat Jakarta, problem yang muncul menggelinding begitu saja, dan kadangkala masyarakat sudah tak peduli lagi dampaknya, dan sudah bosan untuk memperdebatkannya. Kepedulian masyarakat tampaknya sudah mulai menyurut, sehingga setiap proyek dan aktivitas  yang dijalankan pemerintah cenderung minim dukungan. Yang muncul justru lebih pada opini politis, bahwa proyek dan aktivitas  diadakan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam rangka kedudukan dan jabatan politis kedepannya. Contohnya adalah pengerjaan proyek infrastruktur. Tanpa disadari bahwa tujuan mulia dari proyek-proyek infrastruktur justru terdestruksi oleh cara dan pendekatan yang dilakukan dalam menjalankan proyek tersebut. Tak bisa dipungkiri adalah hampir sebagian besar proyek yang dijalankan lahir dari kritikan, kekurangperawatan terhadap infrakstruktur yang ada, dan bahkan cenderung untuk menghabis-habiskan anggaran dalam rangka mengejar setoran laporan APBD dan APBN setiap tahunnya.


Proyek-proyek kejar setoran cenderung berbiaya besar, dan akan memunculkan kubangan besar tempat bercokolnya penyimpangan-penyimpangan. Sudah banyak proyek yang dengan terpaksa dihentikan oleh karena indikasi munculnya kecurangan dan penyimpangan. Ini mereflekdikan bahwa jalan pintas menjadi target pemerintah sebagai akibat realisasi janji-janji pada saat pemenangan  pemilu, sementara disisi lain banyak pegawai negeri tidak mau lagi menjadi pimpro sebagai akibat kekhawatiran akan dikejar-kejar KPK setelahnya. Mindset penyimpangan dan korupsi telah mengakar, sehingga orang yang bersihpun takut menjalankannya, takut kepleset  atau takut melanggar aturan yang kadangkala tak diketahui oleh pelaksana  dan kadangkala sering berubah-ubah.


Manajemen proyek yang tak terintegrasi antar lembaga dan aparatur menyebabkan terjadinya in-efisiensi cost yang dikeluarkan dari anggaran yg dibiayai oleh rakyat melalui pungutan pajak dan restribusi daerah. Proyek yang dikelola secara tidak profesional dan minim pengawasan cenderung menjadi suatu yang kasat mata. Masyarakat menjadi marah ketika mengetahui dana yang mereka kumpulkan melalui pungutan pajak dan retribusi daerah ternyata di korupsi oleh pegawai pajak sendiri melalui proses kongkalikong dan juga oleh mafia nggaran yang ada di badan legislatif. Akibatnya, dana dan anggaran daerah untuk pembangunan tidak besar, proyek sedikit yang tergarap, dan kepuasan masyarakat menjadi berkurang. Disamping itu prioritas pengerjaan proyek dengan dana terbatas menyebabkan proyek yang dijalankan terkesan tambal sulam dan  pengerjaannya pun terasa sangat lambat, sedangkan dari tahun ketahun tuntutan masyarakat semakin besar. Konsekuensinya, pemerintah dituntut berlari mengejar target-target proyek tersebut. 


Kendala terbesar datang justru dari SDM aparatur pemerintah sendiri, apakah telah siap berlari untuk mengejar target tersebut, ataukah hanya duduk manis dan  terdiam dengan harapan selalu menerima gaji buta. Kesiapan aparatur ternyata menjadi problem tersendiri bagi pembangunan.  Terasa sangat kontradiktif ketika banyak sarjana-sarjana masih mengidolakan untuk menjadi aparat pemerintahan dan peminatnya sangat besar ketika pemerintah mengumumkan lowongan pegawai negeri. Beribu-ribu sarjana berlomba-lomba memperebutkan posisi dan status PNS dengan berbagai pendekatan dan cara. Dan bahkan ada yg gelap mata memanfaatkan disparitas supply demand seperti layaknya sebuah pasar tenaga kerja. KKN yang sejak orde reformasi mulai diharamkan dan ditinggalkan, ternyata hanya wacana, pola rekrutment yg belum merit system, dan transparansi yg hanya sebuah cita-cita, menyebabkan pengumuman lowongan kerja menjadi peluang kerja bagi makelar-makelar tenaga kerja untuk menebarkan janji-janji dan tipuan untuk mendapatkan segepok uang keberuntungan.


Ada kekhawatiran besar muncul dari ketertarikan generasi muda berbondong-bondong melamar sebagai calon PNS. Tanpa dibekali kekuatan moral dapat dibayangkan apa jadinya para PNS ini dalam bertindak sebagai aparatur pelayanan masyarakat. Idealisme yang dibawa akan luntur oleh tekanan lingkungan birokrasi yang koruptif. Diamond in garbage out, sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi bila para generasi muda yg brilian dengan penuh idealisme harus terkungkung oleh garis birokrasi paternalistik yang koruptif. Rasanya perlu dilakukan amputasi birokrasi untuk memutus rantai korupsi. Hal ini diperlukan oleh karena proses hukum ternyata tidak membawa efek jera bagi pelaku lainnya. 


Disamping peran pelaksana kebijakan tak kalah pentingnya adalah peran pembuat kebijakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kebijakan bersifat “bottle neck”, kebijakan yang dibuat seolah-olah mengerucut, tapi sebenarnya membuat macet segala hal, kebijakan yang bukannya membuat sesuatu lebih mudah dan baik, ternyata membuat kebuntuan, semakin buntu semakin baik sehingga kebijakan sengaja dibuat agar ada celah untuk melakukan pelanggaran dan memudahkan munculnya intervensi yang berdampak pada biaya siluman, under table money. kebijakan yang dibuat bernuansa jangka pendek, seumur pembuat kebijakan dapat bertahan di kursi legislatif. Ujung-ujungnya  kongkalikong. 


Harapan masyarakat rasanya tak berujung pada perbaikan. Rakyat semakin gerah terhadap janji-janji perubahan yang diberikan pemerintah. “negara auto pilot”, menjadi jargon yg cukup dikenal oleh masyarakat saat ini, oleh karena pandangan bahwa pemerintah tidak eksis, pemerintah hanya sebuah nama tanpa makna.  Negara dapat berjalan tanpa adanya pemerintah. Pemimpinnya hanya bisa berkata “prihatin”. Rakyat merasa berhak mengatur dirinya masing-masing, bentrokan antar warga terjadi dimana-mana. Banyak tumbuh organisasi preman bernuansa SARA tanpa mampu mengendalikan. Pancasila tidak lagi menjadi pedoman bagi generasi muda. Pemaksaan kehendak oleh buruh dengan melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan dihalalkan, kepolisian hanya bisa terdiam karena khawatir kerusuhan. Koruptor seperti layaknya artis, dikunjungi pejabat-pejabat tinggi ketika ditahan dengan alasan memberi dukungan moral. Sepertinya bangsa ini telah sakit. Akankah bangsa ini sembuh dan siap berubah.


Perubahan yang diharapkan adalah lebih pada perubahan mindset pembangunan, yaitu mindset yang mengembalikan hakekat pelayanan ke arah esensi yang sebenarnya. Pelayanan yang didasarkan pada pengabdian pada rakyat. Saat ini tanpa disadari bahwa birokrat tidak lagi menjadi pelayan masyarakat, birokrat justru ingin dilayani. Bila ingin memberikan pelayanan selalu minta imbalan. Meminta secara terang-terangan tanpa basa basi, dan tanpa rasa malu.  Kondisi ini telah berakar sejak puluhan tahun yang lalu, sejak orde baru hingga saat ini belum berubah dan masih terjadi di berbagai lini. Banyak politisi, birokrat, pengusaha yang ditangkap karena KKN ini, dan masih bisa tersenyum sumringah dengan rasa tak bersalah, mencari dalih disertai pendamping pengara-pengacara terkenal yang berbayar mahal dan pandai bersilat lidah. Hukum hanya sebuah dagelan.  Reformasi sebagai bahasa yg halus untuk perubahan ternyata tidak mampu menggerakkan dan membebaskan bangsa ini dari KKN. Prilaku koruptif  itu seperti penyakit tumor yang mematikan bangsa ini. 
 

Dukungan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk memerangi prilaku koruptif ini, KPK harus diperkuat. Aparat hukum harus dibersihkan, karena sapu yang kotor tidak akan bisa membersihkan koruptor. Pemilu haruslah memilih orang yang tepat, yang lebih memiliki idealisme dalam membangun bangsa ini. NKRI dan pancasila harus dijadikan pedoman berbangsa dan bernegara. Dibutuhkan pemimpin yang berani, tegas, brilian dan kuat untuk melakukan reformasi yang sebenar-benarnya. Pemimpin yang tidak memiliki dosa kesejarahan yang dapat membebaninya . Pemimpin yang teguh menegakkan prinsip-prinsip yang tak koruptif yang dapat dijadikan teladan oleh bangsa ini. Bila boleh bermimpi, berharap muncul seorang Avatar yang akan menyelamatkan bangsa ini. Siapakah dia? ..... Kita tunggu tanggal mainnya di episode berikutnya....

Rabu, 22 Agustus 2012

Mudik.......


A life spent making mistakes is not only more honorable 
but more useful than a life spent in doing nothing.
~ George Bernard Shaw


Ada yang unik pada saat meeting pagi dilaksanakan pada minggu terakhir menjelang liburan lebaran. Tidak hanya waktu meeting yang sedikit lebih panjang oleh karena banyaknya materi menjelang liburan yang harus dibahas, namun ada satu pertanyaan yang selalu saya ulang setiap tahunnya, yaitu siapa sajakah karyawan yang akan mudik di liburan lebaran kali ini? Ekspresi pertama yang muncul adalah hampir sebagian besar mengangekat tangannya, dan sebagian hanya terdiam, ada yang tersenyum, ada yang sedikit cemberut, bahkan ada yg kelihatan tertarik untuk bercerita lebih lanjut.

Kenapa hal ini saya selalu lontarkan? Mudik adalah suatu event tahunan yang cukup menarik untuk diamati, walaupun kadangkala peristiwanya seolah-olah itu-itu  saja, namun bagi yang menjalaninya merupakan suatu yang dinanti-nantikan selama kurang lebih satu bulan lamanya berpuasa, dan bahkan banyak yang menunggu momen ini sebagai satu momen silaturahmi tahunan bagi keluarga mereka. Mereka memiliki dorongan untuk bersilaturahmi dan saking bermaaf-maafan dengan handai taulan, yang mungkin hanya bisa dilakukan melalui momen ini. Mungkin bisa menjadi sebuah pertanyaan yang  menarik mengapa mudik bisa menjadi suatu event yang begitu meriahnya, padahal kenyataannya kita bisa lakukan kapanpun bila kita memiliki waktu dan uang untuk menjalankannya, tanpa menunggu event lebaran pun kita bisa lakukan. Tapi berbekal pengalaman memang kadangkala susah dibandingkan kenikmatannya, antara pulang mudik saat lebaran dengan mudik saat-saat hari biasa. Walaupun sedikit lebih crowded dan melelahkan, mudik saat lebaran cenderung lebih dirasa berkesan. Adanya kerinduan yang sedikit berbeda nuansa ketika mereka menjalani proses mudik lebaran ini.

Pergerakan manusia secara masiv memang terjadi pada saat menjelang satu atau dua hari sebelum lebaran, dan untuk mencapai keinginan tersebut persiapannya tidaklah dilaksanakan satu hari atau dua hari saja. Mudik sudah menjadi akumulasi emosi semua orang dan setiap rekan saling mempengaruhi satu sama lain dengan ide mudiknya, yang kadangkala dapat mempengaruhi emosi yang tidak mudik untuk tiba-tiba mengambil keputusan untuk mudik. Banyak yang merasa sedih tidak dapat menikmati moment ini, oleh karena merasa tidak lagi memiliki “kampung halaman”, oleh karena tiadanya keluarga utama yg harus dikunjungi, atau bahkan oleh karena jadwal ritual kunjungan yang dilakukan secara bergiliran. 

Persiapan mudikpun dirancang sedemikian rupa, dari perencanaan awal dalam memutuskan apakah tahun ini akan mudik atau tidak, yang kadangkala sewaktu2 bisa berubah menjelang hari H-nya, transportasi apa yang akan digunakan, biaya yang akan dihabiskan, daerah yang akan dikunjungi, pengaturan waktu perjalanan hingga persiapan fisik ditengah-tengah suasana masih berpuasa. Semuanya tentunya dilahirkan oleh proses perencanaan yang tak sederhana. Mengapa kita dapat mengatakan tak sederhana? Tak bisa dipungkiri bahwa energi yang dibutuhkan adalah sangat besar, termasuk juga “ransum” dana yang harus disiapkan. Ditengah-tengah padatnya lalu lintas oleh karena pergerakan yang serentak dari moda transportasi dengan tujuan yang sama, menyebabkan waktu tempuh bisa dua hingga tiga kali dari waktu biasanya, namun hal ini tidaklah menyurutkan para pemudik untuk menjalaninya. Ternyata keinginan berlebaran di kampung halaman lebih besar daripada keletihan-keletihan yang dirasakan. 

Fenomena mudik ini bagi bangsa ini bukanlah fenomena yang dapat dimengerti secara sederhana dan mudah, karena hampir sebagian besar energi anak bangsa tercurah dalam mendukung kegiatan ini. Bagaimana polisi secara rutin menyiapkan “operasi ketupat” dengan melibatkan puluhan ribu personilnya guna mengamankan event mudik ini setiap tahun tanpa henti. Bagaimana stakeholder perhubungan dalam menyiapkan moda transportasi darat, laut dan udara yang aman dan nyaman, serta meyakinkan konsumen akan terangkut semua, dan menjamin tidak melonjaknya tiket angkutan secara drastis karena alasan aji mumpung. Bagaimana pihak jasa marga, melakukan perbaikan-perbaikan jalan, walaupun tambal sulam, guna meyakinkan pemudik bahwa jalan yang dilaluinya terasa mulus dan tak bergelombang. Bagaimana Pelaku-pelaku bisnis otomotif, perbankan, dan produk-product konsumen, berlomba-lomba menyediakan fasilitas pendukung dan promo produk sepanjang rute perjalanan, dan terpaksa melemburkan pekerjanya agar bersedia bekerja dan ditempatkan disepanjang rute perjalanan yang tentunya disertai insentif tambahan diluar uang lembur umumnya. Bagaimana bengkel dan penyewaan kendaraan menjadi laris manis, karena para pemudik lebih memilih menyewa kendaraan agar lebih simple dan mobile ketika mengunjungi sanak saudaranya. Bagaimana PLN dan Pertamina serta perusahaan penyedia bahan bakar lainnya menjamin pasokan listrik dan bensin/premium tak akan tersendat guna mendukung perhelatan disertai tanpa malu-malu sedikit menaikkan harga premium dengan memanfaatkan momentum kebutuhan. Bagaimana media informasi cetak maupun elektronik secara gencar mengumumkan perhelatan ini keseluruh khalayak dengan menyebar wartawannya sepanjang titik perjalanan, sekaligus mencari berita-berita unik untuk menggandakan oplah. Bagaimana ibu-bu rumah tangga kerepotan secara mendadak, oleh karena kehilangan pembantunya dan harus menjadi “oshin” untuk periode waktu tertentu. Bagaimana para penyedia pembantu musiman menaikkan tarif pembantu infal, dengan memanfaatkan momentum kekosongan tenaga kerja untuk rumah tangga yang sangat bergantung pada pembantunya. Bagaimana obyek-obyek wisata disiapkan dan disulap secara mendadak  guna mengantisipasi pengunjung yang haus akan hiburan.  Bagaimana birokrasi pemerintah, dengan tanpa segan-segannya secara sedikit terselubung melakukan sidak keberbagai instansi perusahaan disertai emebl-embel kata-kata sakral “THR” dari perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tambahan (ssstt... hal ini sdh menjadi rahasia umum....yg tak satupun mau dijadikan saksi untuk membuktikannya).  Bagaimana para preman yang tergabung dalam ormas-ormas, tersenyum dan meniru “hal-hal baik”  yang dilakukan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, dengan alasan biaya keamanan. Dan yang terakhir, betapa pusingnya pemerintah melihat angka kematian akibat korban kecelakaan yang cenderung ratusan jiwa setiap tahunnya.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa fenomena mudik ini telah menggerakkan roda perekonomian Indonesia secara signifikan. Berapa puluh triliun uang yang beredar dimasyarakat saat itu dari transaksi yang dilakukan pemudik, berapa kenaikan inflasi sebagai akibat semua pelaku ekonomi memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan dengan menaikkan harga produk dan layanan. Berapa pertumbuhan tenaga kerja musiman yang  terdorong untuk menjadi tenaga infal ataupun menjadi pedagang dadakan. Berapa triliun rupiah kiriman uang TKI ke daerah-daerah asalnya, sebagai pengganti ketidakhadiran mereka di rumah.

Walaupun kompleksnya masalah mudik ini, para pemudik hingga saat ini  masih merasa nyaman-nyaman saja dan menikmatinya sebagai bagian dari  berkah tahunan yg tak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi masalah  sekarang adalah tinggal mengontrol bagaimana efek baliknya saja, dimana uang umumnya sudah mulai menipis, eforia lebaran telah terlewati, banyaknya rekan-rekan yang tak mudik mengharapkan oleh-oleh, waktu penggajian masih jauh, rumah yang ditinggalkan sedikit berantakan, adanya hukuman yang disiapkan oleh institusi perusahaan atau pemerintah bagi karyawan yang mangkir masuk kerja, dan tak kalah serunya adalah berapa sanak keluarga yang dibawa dari daerah ke ibukota dengan harapan secara instant memperoleh pekerjaan, dan dapat berharap suatu saat bisa petantang petenteng seperti keluarga mereka yang telah berhasil, walaupun mudik dengan mobil sewaan dan terlihat seperi orang yg memiliki kemapanan secara ekonomi dan sosial dimata keluarganya di daerah. Dan bagaimana pemda selalu mengadakan  razia penduduk bagi pendatang musiman, untuk memperkecil pendatang yang tidak memiliki keterampilan, dan meminimasi tingkat kriminalitas kedepannya .

Namun satu hal yang bisa diambil hikmahnya dari fenomena mudik ini adalah kekuatan dan dorongan silaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan adalah sumber kekuatan yang maha dasyat yang mampu mengalahkan rintihan-rintihan keletihan, menipisnya keuangan, gambaran kesusahan dan penderitaan yang akan muncul selanjutnya, serta kemungkinan ketidakjelasan masa depan. Semoga para pemudik dapat memanfaatkan waktu mudiknya dengan sebaik-baiknya untuk tujuan membangun silaturahmi tersebut, dengan tetap berharap di tahun depan dapat melaksanakan kegiatan tersebut lagi secara berkecukupan.