Success is walking from failure to
failure with no loss of enthusiasm.
Winston Churchill
Winston Churchill
Beberapa tahun yang lalu, sebelum grup lawak
Srimulat bubar, saya pernah menonton adegan lucu ketika Tarzan tokoh utama
episode saat itu bertanya kepada seorang pelawak lainnya yang berperan sebagai
“batur” atau pembantu rumah tangga. Pertanyaannya sangat sederhana, tapi
kualitasnya pertanyaannya mungkin akan membuat seorang professor akan
mengernyitkan dahinya. Ia bertanya, bagaimana memberantas kemiskinan di
Indonesia? Tentunya pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh seorang professor
ekonomi dan bahkan presiden sekalipun,
karena butuh berpuluh-puluh tahun untuk bisa merumuskan kebijakan yang belum
tentu juga berhasil diimplementasikan agar bisa mengentaskan kemiskinan. Jawaban tak terduga
dari pertanyaan itu dan sedikit kejam namun membuat kita tersenyum adalah
sangat sederhana, yaitu “bunuhi saja yang miskin-miskin”. Walaupun terkesan
kejam dan melanggar HAM, jawaban yang disertai canda terkesan pragmatis
sifatnya.
Pragmatisme, kadangkala menjadi jawaban ketika
langkah-langkah strategis sangat susah dilakukan. Kita bisa lihat, begitu
susahnya beberapa gubernur di Jakarta sejak era Ali Sadikin membuat tertib
kawasan Tanah Abang. Banyak strategi telah dibuat, namun sepertinya lemah
diimplementasi, karena kebanyakan strategi yang dibuat tidak disertai oleh goodwill serta kekuatan integritas dalam
pelaksanaanya. Tiba-tiba kita sedikit terhenyak, kawasan yang terkenal dengan kesemrawutannya
tersebut justru bisa dituntaskan hanya dalam waktu 2 bulan. Kalimat pramagtis dan
juga diplomatis yang disampaikan untuk menggambarkan
masalah tersebut; “hal ini bukan
menggusur tapi menggeser”. Apakah Blok G sebagai tempat penampungan pedagang
liar tersebut baru ada? Apakah upaya penertiban hanya baru sekarang dilakukan?
Jawabannya tentu TIDAK. Yang membedakannya adalah letaknya pada kekuatan untuk
melakukan eksekusi. Berpuluh-puluh studi dilakukan untuk menata ibu kota ini, biayanyapun tidak murah. Beratus-ratus milyar
uang rakyat digunakan, tetapi tetap
tidak mudah diimplementasikan. Ternyata jawaban sedikit terkuak, kekuatan
perencanaan tidak disertai oleh kekuatan untuk mengeksekusinya akan membuat
semua upaya hanya menjadi mimpi semata.
Banyak pelaku
bisnis yang sangat lemah dalam proses eksekusi. Perencanaan bisnis
dibuat sangat sempurna dan bahkan menggunakan konsultan yang dibayar dengan
cukup mahal. Tapi sejalan dengan kepergian konsultan, pergi juga rencana
tersebut, lebih karena sangat sedikit yang mampu mengeksekusinya. Bisa dibayangkan
bila perusahaan diisi oleh team yang lemah dalam mengeksekusi rencana, sampai
kapan perusahaan tersebut akan bertahan dalam persaingan yang sangat ketat.
Ignasius Jonan, Direktur Utama PT KAI pernah bercerita tentang bagaimana
beratnya melakukan transformasi di KAI. Seperti kita ketahui bahwa KAI adalah
salah satu BUMN yang selalu merugi. Pandangan umum masyarakat terhadap KAI
adalah salah satu BUMN yang “mati segan hidup tak mampu”. Siapapun akan merasa
mudah untuk menjadi direktur utama di BUMN ini, karena kalaupun gagal, tidak
akan menghebohkan. Toh selama ini Direktur Utama sebelumnya juga tidak mampu
melakukan perubahan. Tapi Ignasius Jonan punya pemikiran yang berbeda. Ia
menganggap bahwa perlu sentuhan “spektakuler” berupa sebuah kekuatan eksekusi.
Langkah pertama yang dilakukan adalah tentunya mereformasi sumber daya
manusianya. Ia melakukan pemetaan
terhadap SDM nya. Ia melihat bahwa secara demografi, terlalu banyak orang “tua”
yang menggelantungi gerbong KAI, sehingga KAI menjadi terseok-seok, ketika akan
dituntut untuk berlari. Ia berkata bahwa;”Kalau ingin melakukan pembenahan KAI
harus dilakukan dari dalam, tidak boleh merengek-rengek belas kasihan pada
pihak lain”. Langkah drastis yang dilakukan adalah memperbaiki system promosi
yang mengarah meritokrasi, tidak ada system urut kacang dalam penentuan posisi,
suatu kondisi yang tabu kalau kita lihat kultur di BUMN saat ini. Ia tidak
merasa perlu mengurangi karyawan. Menurutnya karyawan jumlahnya tak kurang,
yang kurang adalah pekerjaannya. Yang kedua yang ia lakukan adalah dengan
pembenahan system penggajian. Ia melakukan kenaikan gaji dan melihat kembali
struktur Gaji. Ia tak segan menaikkan gaji karyawannya yang dainggap tak
sesuai. Walaupun upaya ini dilakukan saat KAI memiliki kerugian sebesar 83,4 M
tahun 2008, namun dampaknya justru pada tahun 2009 KAI meraup keuntungan
sebesar 153,8 M.
Seperti layaknya Gubernur DKI, Joko Widodo, hal
yang menarik yang dilakukannya adalah dengan menerapkan shopfloor management.
Ia berkomitmen bahwa akan berada di
ruangannya hanya 1 hari dalam 1 minggunya. Sisanya, ia putuskan untuk selalu
berada dilapangan. Upaya yang ia lakukan ternyata membawa hasil yang sangat
signifikan. Perubahan drastis terjadi di PT KAI. Terlihat kenyamanan ketika
kita memasuki stasiun kereta yang ada, tak seperti sebelumnya yang terkesan
kumuh. Eksekusi langsung dilakukan di lapangan ketika ia melihat ada hal-hal
yang kurang. Selain itu, System boarding diterapkan, dan E-tiket
disosialisasikan. Tentunya upaya yang dilakukannya banyak mengalami tentangan.
Tapi dengan keyakinan dan pengalamannya, ia bertahan dengan keputusannya. Yang
memperkuat semangatnya untuk membenahi KAI, terlebih karena ia tak memiliki
vested interest didalamnya.
Tentunya perubahan yang dilakukan membawa hasil
yang signifikan. Secara finansial, KAI memperoleh profit yang cukup signifikan
sejak tahun 2009. Karyawan KAI juga merasa bangga pada kemampuan perusahaannya,
dan mulai menunjukkan kinerja yang baik. Dan yang jelas pelayanan pelanggan
menjadi lebih baik. Inilah wujud dari kekuatan eksekusi dilapangan. Sebuah cara pendekatan dalam mengatasi
problema riil pengelolaan perusahaan. Rasanya pendekatan ini sangat tepat
diterapkan bagi perusahaan atau institusi yang sedang mengalami kebakaran.
Dibutuhkan leader yang kuat untuk menjadi pemadam kebakaran dan juga menyiapkan
fondasi yang kuat bagi keberlangsungan usaha selanjutnya.