Minggu, 15 Desember 2013

"The Power of Execution"



Success is walking from failure to failure with no loss of enthusiasm.
    Winston Churchill 

Beberapa tahun yang lalu, sebelum grup lawak Srimulat bubar, saya pernah menonton adegan lucu ketika Tarzan tokoh utama episode saat itu bertanya kepada seorang pelawak lainnya yang berperan sebagai “batur” atau pembantu rumah tangga. Pertanyaannya sangat sederhana, tapi kualitasnya pertanyaannya mungkin akan membuat seorang professor akan mengernyitkan dahinya. Ia bertanya, bagaimana memberantas kemiskinan di Indonesia? Tentunya pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh seorang professor ekonomi dan bahkan  presiden sekalipun, karena butuh berpuluh-puluh tahun untuk bisa merumuskan kebijakan yang belum tentu juga berhasil diimplementasikan agar bisa  mengentaskan kemiskinan. Jawaban tak terduga dari pertanyaan itu dan sedikit kejam namun membuat kita tersenyum adalah sangat sederhana, yaitu “bunuhi saja yang miskin-miskin”. Walaupun terkesan kejam dan melanggar HAM, jawaban yang disertai canda terkesan pragmatis sifatnya.

Pragmatisme, kadangkala menjadi jawaban ketika langkah-langkah strategis sangat susah dilakukan. Kita bisa lihat, begitu susahnya beberapa gubernur di Jakarta sejak era Ali Sadikin membuat tertib kawasan Tanah Abang. Banyak strategi telah dibuat, namun sepertinya lemah diimplementasi, karena kebanyakan strategi yang dibuat tidak disertai oleh goodwill serta kekuatan integritas dalam pelaksanaanya. Tiba-tiba kita sedikit terhenyak,  kawasan yang terkenal dengan kesemrawutannya tersebut justru bisa dituntaskan hanya dalam waktu 2 bulan. Kalimat pramagtis dan juga diplomatis yang disampaikan untuk  menggambarkan masalah tersebut; “hal  ini bukan menggusur tapi menggeser”. Apakah Blok G sebagai tempat penampungan pedagang liar tersebut baru ada? Apakah upaya penertiban hanya baru sekarang dilakukan? Jawabannya tentu TIDAK. Yang membedakannya adalah letaknya pada kekuatan untuk melakukan eksekusi. Berpuluh-puluh studi dilakukan untuk menata ibu kota ini,  biayanyapun tidak murah. Beratus-ratus milyar uang rakyat digunakan, tetapi tetap  tidak mudah diimplementasikan. Ternyata jawaban sedikit terkuak, kekuatan perencanaan tidak disertai oleh kekuatan untuk mengeksekusinya akan membuat semua upaya hanya menjadi mimpi semata.

Banyak pelaku  bisnis yang sangat lemah dalam proses eksekusi. Perencanaan bisnis dibuat sangat sempurna dan bahkan menggunakan konsultan yang dibayar dengan cukup mahal. Tapi sejalan dengan kepergian konsultan, pergi juga rencana tersebut, lebih karena sangat sedikit yang mampu mengeksekusinya. Bisa dibayangkan bila perusahaan diisi oleh team yang lemah dalam mengeksekusi rencana, sampai kapan perusahaan tersebut akan bertahan dalam persaingan yang sangat ketat. Ignasius Jonan, Direktur Utama PT KAI pernah bercerita tentang bagaimana beratnya melakukan transformasi di KAI. Seperti kita ketahui bahwa KAI adalah salah satu BUMN yang selalu merugi. Pandangan umum masyarakat terhadap KAI adalah salah satu BUMN yang “mati segan hidup tak mampu”. Siapapun akan merasa mudah untuk menjadi direktur utama di BUMN ini, karena kalaupun gagal, tidak akan menghebohkan. Toh selama ini Direktur Utama sebelumnya juga tidak mampu melakukan perubahan. Tapi Ignasius Jonan punya pemikiran yang berbeda. Ia menganggap bahwa perlu sentuhan “spektakuler” berupa sebuah kekuatan eksekusi. Langkah pertama yang dilakukan adalah tentunya mereformasi sumber daya manusianya. Ia  melakukan pemetaan terhadap SDM nya. Ia melihat bahwa secara demografi, terlalu banyak orang “tua” yang menggelantungi gerbong KAI, sehingga KAI menjadi terseok-seok, ketika akan dituntut untuk berlari. Ia berkata bahwa;”Kalau ingin melakukan pembenahan KAI harus dilakukan dari dalam, tidak boleh merengek-rengek belas kasihan pada pihak lain”. Langkah drastis yang dilakukan adalah memperbaiki system promosi yang mengarah meritokrasi, tidak ada system urut kacang dalam penentuan posisi, suatu kondisi yang tabu kalau kita lihat kultur di BUMN saat ini. Ia tidak merasa perlu mengurangi karyawan. Menurutnya karyawan jumlahnya tak kurang, yang kurang adalah pekerjaannya. Yang kedua yang ia lakukan adalah dengan pembenahan system penggajian. Ia melakukan kenaikan gaji dan melihat kembali struktur Gaji. Ia tak segan menaikkan gaji karyawannya yang dainggap tak sesuai. Walaupun upaya ini dilakukan saat KAI memiliki kerugian sebesar 83,4 M tahun 2008, namun dampaknya justru pada tahun 2009 KAI meraup keuntungan sebesar 153,8 M.

Seperti layaknya Gubernur DKI, Joko Widodo, hal yang menarik yang dilakukannya adalah dengan menerapkan shopfloor management. Ia berkomitmen bahwa  akan berada di ruangannya hanya 1 hari dalam 1 minggunya. Sisanya, ia putuskan untuk selalu berada dilapangan. Upaya yang ia lakukan ternyata membawa hasil yang sangat signifikan. Perubahan drastis terjadi di PT KAI. Terlihat kenyamanan ketika kita memasuki stasiun kereta yang ada, tak seperti sebelumnya yang terkesan kumuh. Eksekusi langsung dilakukan di lapangan ketika ia melihat ada hal-hal yang kurang. Selain itu, System boarding diterapkan, dan E-tiket disosialisasikan. Tentunya upaya yang dilakukannya banyak mengalami tentangan. Tapi dengan keyakinan dan pengalamannya, ia bertahan dengan keputusannya. Yang memperkuat semangatnya untuk membenahi KAI, terlebih karena ia tak memiliki vested interest didalamnya. 

Tentunya perubahan yang dilakukan membawa hasil yang signifikan. Secara finansial, KAI memperoleh profit yang cukup signifikan sejak tahun 2009. Karyawan KAI juga  merasa bangga pada kemampuan perusahaannya, dan mulai menunjukkan kinerja yang baik. Dan yang jelas pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Inilah wujud dari kekuatan eksekusi dilapangan.  Sebuah cara pendekatan dalam mengatasi problema riil pengelolaan perusahaan. Rasanya pendekatan ini sangat tepat diterapkan bagi perusahaan atau institusi yang sedang mengalami kebakaran. Dibutuhkan leader yang kuat untuk menjadi pemadam kebakaran dan juga menyiapkan fondasi yang kuat bagi keberlangsungan usaha selanjutnya.

Sabtu, 14 Desember 2013

Berteman dengan anak-anak pasien Kanker



Do more than belong: participate. Do more than care: help. Do more than believe: practice. Do more than be fair: be kind. Do more than forgive: forget. Do more than dream: work.
~ William Arthur Ward 
Tampak keceriaan sejumlah anak yang tinggal di sebuah rumah berlantai 2 berlokasi di Jalan Anggrek Neli Murni A110 Slipi. Rumah ini layaknya seperti rumah biasa, tapi ketika kita masuk kedalamnya kita akan menemukan anak-anak yang sedang berlari kesana kemari, berteriak, bernyanyi, seperti layaknya anak normal, tidak ada kesedihan sedikitpun tampak di raut wajah mereka. Kalau kita cermati secara seksama, terlihat gambaran fisik yang berbeda dari anak pada umumnya. Ada yang terlihat tak sempurna secara fisik dan ada yang terlihat seperti tak ada masalah. Dibalik keceriaan, terbersit adanya penderitaan fisik yang dirasakan dan bahkan mungkin tak satupun yang akan bisa menebak seberapa lama mereka kan bertahan dengan penyakitnya. Keceriaan tersebut sangat mengharukan dan juga memberi inspirasi. Anak-anak yang hanya “satu centimeter” dari kematian, tetap bisa ceria. Orang tua yang tadinya sedih, lambat laun merasakan tumbuhnya rasa pasrah dan menatap masa depan anak mereka dengan ceria. Sementara di belantara lain Jakarta, banyak orang “cemberut” dengan kemewahannya.

Rumah yang ramai dengan keceriaan anak ini  lebih dikenal sebagai Rumah Anyo, dimana didalamnya tertampung secara rutin bergantian tidak kurang dari 20 lebih anak-anak penderita kanker yang sedang menjalani pengobatan di RS Kanker Dharmais dan 1 orang anggota keluarga pendamping setiap pasiennya. Umumnya pasien ini adalah anak-anak yang karena ketidakmampuan keluarga untuk menanggung pengobatan, kebanyakan  dari mereka terpaksa harus dipasrahkan menjalani penderitaan dan tinggal dirumah mereka yang umumnya jauh dari jangkauan layanan petugas kesehatan. Rumah Anyo adalah rumah singgah bagi mereka yang secara ekonomi masih membutuhkan bantuan untuk pengobatan. Rumah yang diisi silih berganti oleh anak-anak yang menderita kanker, baik itu kanker mata, kanker darah, kanker yang juga menyerang organ-organ tubuh lain. Tentunya penghuninya ada yang berhasil sembuh dan juga ada yang tak tertolong nyawanya. 

Rumah ini tumbuh karena kepedulian. Kepedulian terhadap anak-anak penderita kanker yang pada umumnya berasal dari keluarga yg kurang mampu secara ekonomi, dan berasal dari seluruh Nusantara.  Kebanyakan dari mereka tak sanggup melakukan perawatan di Rumah sakit di daerahnya oleh sebab tidak memiliki kemampuan ekonomi dan juga karena rumah sakit daerah tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk merawat anak-anak ini. Walau mereka sudah berobat di rumah sakit kanker terdekat, namun banyakan dari mereka tak  tertampung di rumah sakit kanker terdekat tersebut.

Tak satupun para sukarelawan di rumah ini dibayar, semuanya dilakukan secara sukarela, sesuai dengan kemampuan masing-masing, ada yang mengabdikan dirinya melalui sumbangan uang dan natura, dan ada yang membantu dalam aktivitas rutin sehari-hari, seperti menemani bermain, hingga menjadi guru dadakan belajar membaca, berhitung bahkan menemani bernyanyi, menggambar dan bercerita. Semua dilakukan karena adanya kepedulian terhadap masa depan dari anak-anak penderita kanker tersebut. Karena pengetahuan yang dimiliki dari pembelajaran bahwa kanker pada usia dini lebih mudah diobati, para sukarelawan ini merasa penting berbuat dengan segera sebelum anak-anak tumbuh dan lebih menderita.

Apa sih yang ada di Rumah Anyo ini? Sama seperti layaknya rumah, tentunya ada ruang tidur, ruang makan, ruang beranda bermain bagi anak-anak, dapur dan tempat mencuci pakaian. Rumah ini sengaja di setting untuk membangun kebersamaan antara anak-anak penderita dan juga keluarga yang merasa senasib dan sepenanggungan. Orang tua memanfaatkan kesempatan untuk saling curhat dan berkeluh kesah. Dan bahkan mereka kadangkala sangat terhibur karena banyak sukarelawan yang sangat berempati dan berkunjung ke tempat ini. Sukarelawan yang tidak terbatas akan gender, usia, pekerjaan, agama, latar belakang ekonomi dan profesi, maupun batasan-batasan lainnya.
Tidak seperti layaknya bangsal dan kamar pasien di rumah sakit, tempat ini berusaha memberikan suasana “rumah” bagi pasien dan keluarganya. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh rumah Anyo, untuk tetap membangun spirit sembuh bagi pasiennya yang tinggal disana. Dari kegiatan yang bersifat menghibur hingga kegiatan yang terkait pengobatan. Selain ada sesi untuk anak, ada juga sesi-sesi pembelajaran bagi orang tuanya dan juga sesi-sesi counseling sehingga membantu memperkuat mental orang tua dalam menghadapi kesedihan mereka.

Setiap anak yang sakit, bisa ditemani oleh salah satu orang tuanya, dan orang tua diharapkan kontribusi sukarelanya hanya 5.000,- per hari, untuk menjaga spirit agar selalu berusaha, dan sama-sama memikul tanggung jawab. Tentunya biaya ini tak sebanding dengan biaya operasional sehari-hari yang ditanggung yayasan ini. Seperti layaknya rumah, semua kegiatan baik itu memasak dan mencuci dilakukan secara kolektif oleh para ibu yang sedang mendampingi anaknya tersebut. Tanpa dikomando, mereka sudah menjalankan peran mereka masing-masing saling bantu satu sama lain, tidak terkotak-kotak oleh karena perbedaan SARA. Mereka saling bahu membahu, membersihkan tempat tidur, mengepel lantai, mencuci baju dan piring hingga memasak. 

Para sukarelawan dan sosiawan rajin mengunjungi rumah ini, ada atau tidaknya pasien anak pada saat itu. Semua datang dengan penuh ketulusan, baik secara pribadi maupun mewakili institusi perusahaan maupun kelompok-kelompok social. Mereka umumnya terketuk karena merasa bahwa Kepedulian ini tentunya merupakan barang langka ditengah kehidupan individual yang hedonis, dimana setiap individu hanya berusaha menambah kepemilikan modal tanpa keinginan menguranginya apalagi membaginya dengan pihak lain. 

Para sukarelawan mendobrak tradisi kepedulian yang telah lama mendekati kepunahan di bumi Indonesia ini. Andaikata semakin banyak sukarelawan yang peduli di Indonesia, tentunya hal ini akan membantu meringankan penderitaan pasien-pasien tersebut. Banyak sebenernya orang yang mampu ingin berbagi, namun banyak dari mereka karena kesibukannya tidak mengetahui lembaga-lembaga mana yang tepat untuk menjadi tempat bagi donasi mereka. Oleh karena itu disetiap lembaga atau yayasan perlu rasanya sedikit “menjual” diri mereka sehingga para dermawan mengetahui secara mendalam program-program yang mereka jalankan. 

Selama ini banyak terjadi kesalahkaprahan ketika melihat susahnya lembaga-lembaga ini mengetuk hati dermawan untuk menyumbangkan sedikit dana mereka. Kebanyakan dari mereka datang untuk meminta sumbangan. Tentunya hal ini tidak mudah mendapat kepercayaan karena praduga rawan penyelewengan. Tidak bisa dipungkiri banyak yayasan yang cenderung gurem, dan bahkan banyak kita temui peminta-minta yang berkedok sukarelawan mewakili yayasan tertentu di setiap perhentian lampu lalu lintas. Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan dari para dermawan. Menyadari hal itu, pengurus rumah Anyo, mencoba mengajak para dermawan untuk melihat langsung kondisi rumah anyo. Mereka ingin mengajak terlibat, dan tidak sekedar hanya meminta sumbangan, tetapi memberikan ruang bagi para dermawan untuk terjun langsung dan terlibat  secara lebih dalam. Apapun bantuan diterima, sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dengan pelibatan ini tentunya memberikan warna tersendiri bagi para dermawan. Kepedulian yang muncul, ditumbuhkan bukan  karena hasil “cuap-cuap” pengurusnya, tetapi karena hasil melihat realita yang ada. Andaikata spirit ini bisa ditumbuhkan untuk kepedulian para pasien anak untuk penyakit lainnya seperti penderita thalasemia, autis, penderita gangguan mental, penyakit ayan, tuna bawaan, penderita jantung, anemia anak, gangguan ginjal, polio dan kelumpuhan dan penyakit2 lainnya, maka tentunya penderitaan anak bangsa akan sedikit terobati. Kita butuh banyak Rumah Anyo- Rumah Anyo lainnya. Kita butuh banyak sukarelawan untuk membantu anak bangsa melalui penderitaanya dan menggapai kebahagiannya.

Chef



A crust eaten in peace is better than a banquet partaken in anxiety.
~ Aesop 
Bagi penggemar kuliner tentu tak asing dengan nama Bondan Winarno, seorang trendsetter dibidang kuliner, yang sering tampil di acara-acara ataupun ulasan tentang kulineri Nusantara dan terkenal dengan jargon “Maknyus” nya.  Sosok Pak Bondan, yang sering ditemani oleh seorang presenter wanita, dan dengan gaya blusukannya yang khas ke restoran pinggir jalan dan makanan kampung hingga menu-menu modern yang tersaji di Restoran-restoran berkelas mencoba mengenalkan ke publik atau masyarakat bahwa begitu kayanya republik ini dengan keragaman kulinernya sehingga menjadi suatu yang harus dan perlu diketahui oleh masyarakat. Pak Bondan telah mengilhami lahirnya spirit nasionalisme kuliner, yang sempat adem ayem berapa dekade terakhir. Program yang di gawanginya di beberapa statsiun TV  banyak mengilhami program-program sejenis di berbagai media baik itu media eletronik maupun media cetak. Dan bahkan saat ini telah banyak muncul kelompok-kelompok sosial yang terkait erat dengan masalah kuliner ini, seperti Natural Cooiking Club (NCC) yang sering mengadakan event bagi para pe Hobbies masak-memasak di Jakarta serta melalui web dan jejaring sosialnya telah merambah secara nasional. Ada juga beberapa kelompok sosial lain yang bergabung karena suka pada jenis produk makanan dan minuman tertentu, seperti misalnya para penggemar wine yang tergabung dalam  Indonesia Wine Club (IWC). Disamping banyaknya muncul klub-klub kuliner tersebut, tempat-tempat yang dikunjungi dan telah dipublikasikan di acara kuliner di media elektronik,  seolah-olah tertimpa rejeki, karena banyak wisatawan kuliner mencoba mencicipi makanan yang telah dipromosikan oleh Pak Bondan tersebut.

Rasanya dalam hal jenis dan momentumnya, urusan perut bukanlah suatu yang perlu dikhawatirkan di republik ini, dari acara keluarga, silaturahmi dengan rekan dan teman sejawat, makan siang bersama, buka puasa bersama, acara perkawinan, kunjungan kedinasan ke daerah maupun keluar negeri, kegiatan olahraga dan bahkan acara-acara yang berkaitan dengan kematian pun diisi dengan acara makan-makan. Bahkan makan yang disajikan  kadangkala menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah acara. Tamu dalam perhelatan menjadikan menu  dan melimpahnya sajian makanan sebagai sebuah gunjingan pasca event dijalankan.  Oleh karenanya banyak yang mengatakan bahwa budaya makan adalah budaya kita, budaya yang juga dikaitkan dengan kesantunan masyarakatnya.  Namun bila kita cermati secara lebih seksama, masalah kuliner saat ini nampaknya tidak lagi hanya sekedar masalah mengisi perut, kuliner sudah menjadi sebuah keunggulan kompetitif baru ditengah pergaulan sosial. Sederhananya, banyak orang yang merasa unggul ketika telah mencoba sejenis makanan baru yang berbeda dan  yang belum pernah dicoba rasakan oleh rekan lainnya. Dan bagi yang lainnya akan terdorong untuk mencari dan mencobanya. Potensi ini benar-benar dimanfaatkan oleh pengelola pariwisata. Dahulunya kita hanya mengenal wisata alam dan wisata seni dan budaya, sekarang kita dikenalkan juga wisata kuliner. 

Yang tak boleh dilupakan bahwa ephoria wisata kuliner adalah pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Banyak ragam merk makanan yang tadinya terkenal di daerah-daerah telah mulai merambah melalui franchaising ke ibukota Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya. Di Jakarta saja berpuluh-puluh Restoran Soto Ambengan Pak Sadi Asli kita bisa kita temukan di seantero Jakarta. Demikian juga merk-merk lainnya, seperti Soto Pak Min Klaten, Nasi Bali dan  Ayam Betutu Dolar, Bebek Kaleo, Sop Daging Leko, Tahu Gimbal Semarang, Sate Kempleng, Soto Bogor, Rawon Setan Mbak Endang, Tahu Pletok Tegal, Rawon Nguling Surabaya, Gudeg Yu Jum, Ayam Goreng Mbok Berek, Sate Padang Mak Syukur, Soto Kudus, Pecel Madiun, Soto Banjar, Pempek Palembang, Es Pisang Hijau Makasar, Ayam Taliwang Sumbawa, Rujak Cingur Surabaya, Sate Ayam dan Kambing Madura, Babi Guling Gianyar, Mi Jawa Mbah Mo Jogja, Siomay Bandung, Bakso Malang, Ayam Goreng Kalasan, Gudeg Koyor Salatiga, Sop Tengkleng Wonogiri, Nasi Leko dan Jamblang Cirebon, Sate Kambing Batibul Tegal, Empal Gentong Cirebon, Soto dan tangkar Iga Betawi, Sop Conro dan Coto Makasar, Bandeng Presto Juwana, Mie Atjeh, Nasi Liwet Solo,  Bubur Manado, Lumpia Semarang, Tempe Mendoan Purwokerto, Nasi Gandul Pati, Kwetiaw Medan, dan masih banyak lagi ragam kuliner Nusantara, yang tentunya perlu kita coba. Yang selalu menjadi pertanyaan apakah yang ada di Jakarta seenak aslinya? Pertanyaan ini akan menjadi dorongan bagi mereka yang suka kuliner untuk langsung eksplorasi ketempat dimana makanan tersebut berasal.

Ada hal yang kadang dilupakan dibalik begitu beragamnya jenis makanan nusantara, dimana keragaman ini dilahirkan oleh para chef-chef tradisional yang mempertahankan resep dan citarasa secara turun temurun. Mereka adalah para maestro seni dibidang kuliner, yang menciptakan berbagai jenis makanan dengan penuh dedikasi dan tanpa suara. Makanan yang diciptakan tidak hanya enak dimakan, tetapi juga merupakan hasil karya besar di balik layar yang sangat mengagumkan. Namun sayang sekali hingga saat ini belum ada program penghargaan khusus yang mampu mengapresiasi para chef-chef  penjaga tradisi tersebut seperti layaknya maestro seni dan budaya lainnya. Belum ada penghargaan yang diberikan baik pemerintah maupun organisasi swasta kepada pelopor-pelopor di bidang kuliner ini. Yang ada hanya piala-piala juara bagi chef-chef yang menang dalam kompetisi kuliner. Memang patut disayangkan bahwa keragaman kuliner yang dimiliki, cenderung dianggap biasa saja, dan hanya sebagai suatu yang nikmat di lidah dan jadi pergunjingan ketika lapar. Kita baru akan berteriak ketika banyak hasil karya bidang kuliner kita yang diakui oleh negara lain sebagai karya anak bangsa nya. Kita juga baru menyadari bahwa keragaman itu merupakan sebuah kekayaan bangsa (nation assets) ketika negara lain memperoleh keuntungan ekonomis dari keragaman kuliner kita. 

Tak seperti di negara lain, yang sangat menghargai pengkreasi kuliner, di Indonesia penghargaan hanya melekat pada nama yang tercantum sebagai merk dagangnya. Dan keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap peniruan menyebabkan semakin beragamnya jenis makanan dengan nama yang sama, dengan racikan yang berbeda yang lahir karena kegagalan peniruan atau bahkan sengaja untuk memodifikasinya. Namun terlepas dari itu, apapun selalu membawa dua sisi, baik dan buruk. Baiknya adalah tentunya industri kuliner semakin berkembang dengan citarasa yang berkembang pula. Buruknya tak banyak penghargaan yang muncul sebagai akibat tak banyaknya dan tak umumnya resep makanan yang dipatenkan sebagai bagian kekayaan intelektual.
Jaman telah berkembang, telah banyak muncul chef-chef muda yang cukup terkenal dalam kancah perkulineran. Tak asing ditelinga kita nama-nama seperti Chef Farah Queen, Chef Marinka, Chef Degan, Chef Arnold, Chef Putu Ika dan beberapa nama chef lainnya. Chef tidak sekedar sebagai sebuah profesi namun sudah dianggap sebagai gelar, yang selalu melekat pada nama seperti ibaratnya dokter dan profesor. Pekerjaan rumah terbesar para chef ini tidak saja mewarisi apa-apa yang sudah dikreasikan oleh para chef tradisional tadi yang terpenting adalah bagaimana mengamankan dan mengembangkan resep-resep tradisional yang adiluhung agar dikenal dan menjadi cita rasa internasional.

Selasa, 16 April 2013

Tasripin


Look at a day when you are supremely satisfied at the end. 
It's not a day when you lounge around doing nothing;
it's when you've had everything to do, and you've done it.
~ Margaret Thatcher
 


Mungkin tak banyak orang mengenal, Tasripin bocah umur 12 tahun asal sebuah dusun kecil di desa Gunung Lurah Kecamatan cilongok kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang hidup bersama ketiga adiknya sebatangkara tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Ibu Tasripin telah lama meninggal dunia, sedangkan ayahnya terpaksa merantau ke Kalimantan dengan kakak tertua, bekerja untuk mencari nafkah dan sekali sekali mengirimkan uang ke Tasripin, dan itupun tak selalu rutin. Untuk menghidupi kebutuhannya dan ketiga adiknya tersebut, dengan terpaksa Tasripin harus putus sekolah dan bekerja sebagai buruh tani harian di desanya.

Ditengah gembar gembornya pemerintah menyiarkan tingkat pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi berkisar 6,5 %, namun dipojok yang sunyi seorang bocah yang seharusnya sedang menjalani masa kecil yang bahagia, bercengkrama gembira dengan teman-teman sebayanya, harus dengan susah payah menjadi buruh tani di desanya agar bisa menghidupi 3 orang adik kecil yang sebagian besar putus sekolah. Dengan hanya berpenghasilan tidak tetap sebesar Rp. 30.000 per hari, bocah ini berusaha untuk selalu dapat menghidupi makan adik-adiknya dan berusaha untuk membiayai pendidikan adik terkecilnya. Kedua adik yang lain juga harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Sosok Tasripin  merupakan cerminan bagaimana kontrasnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini.

Beratus-ratus kilo meter disebelah barat dari Dusun tersebut, meringkuk dalam sel tahanan KPK sesosok Jendral yang selalu tersenyum bak artis di depan kamera media, yang mengemplang uang rakyat hingga ratusan milyar rupiah, dan yakin bahwa hukumannya hanya sekedar 2 atau 3 tahun lamanya seperti halnya koruptor pendahulu yang mengkorupsi uang rakyat ratusan milyar juga. Mungkin kita hanya bisa berandai-andai, andaikata 100 milyar uang yang di korupsi Jenderal tersebut dipergunakan oleh Tasripin yang mampu mengolah dengan segala keterbatasan Uang Rp. 30.000,- untuk menghidupi ketiga adiknya, maka mereka ber-empat bisa tercukupi hingga 3.333.333 hari atau 9.132,5 tahun lamanya. Kalau hidup manusia maksimal 100 tahun, dengan pola konsumsi dan jumlah pengkonsumsi yang sama maka bisa secara serial menghidupi Tasripin 91,32 turunan lamanya, dan bukan hanya sekedar tujuh turunan.

Beratus-ratus kilo meter disebelah timur laut, pada saat yang bersamaan, sedang diselenggarakan event gegap gempita bernilai ratusan milyar untuk saling merebut posisi pemerintahan dan menjadi raja penguasa di propinsi di mana Tasripin berada. Sangatlah ironis uang rakyat yang digulirkan untuk mensukseskan event tersebut, ternyata dapat menghidupi Tasripin Tasripin lain dengan jumlah tahun yang tentunya lebih fantastis lagi.

Sungguh Ironi yang menggelikan. Kalau begitu yang terjadi untuk apakah kekuasaan itu sebenarnya? Apakah ini wujud Keadilan BerkeTuhanan?

Ada kekhawatiran bahwa Tuhan hanya menjadi rujukan ditengah-tengah kepasrahan, sehingga argumentasi Tuhan itu adil, sedikit bisa menjadi penghibur. Padahal pada kenyataannya sudah banyak yang tak peduli atau bahkan tak mampu karena mengalami hal yang sama. Contoh konkret pada kasus Tasripin, dapatlah dipertanyakan bentuk kepedulian aparat dusun dan desa seperti apa?, demikian juga aparat kelurahan dan kecamatan, aparat kabupaten dan Gubernur. Apakah Raskin dan SKTM hanya gembar-gembor saja sehingga untuk jaminan sekolah saja tidak bisa, ataukah ternyata di daerah tersebut terlalu banyak Tasripin Tasripin lainnya sehingga terjadi kesusahan struktural untuk selalu “menyangoni” Tasripin ini. 

Rasanya kita tidak bisa menyalahkan rakyat bila selalu berteriak, dimana negara? Dimana pemerintah? Rasanya kita juga tidak bisa memungkiri bahwa di negara ini mungkin banyak tasripin-tasripin lainnya. Namun yang kita sesali bahwa Tasripin-tasripin hanya selalu dijadikan jargon kepedulian ketika ingin merebut kekuasaan tanpa memahami esensi kekuasaan itu sendiri. Tasripin hanya menjadi figur kepedulian sesaat dari para tokoh nasional yang super berkecukupan. Tak lekang dari ingatan kita, begitu tergopoh-gopohnya aparat di NTT ketika muncul pemberitaan busung lapar di daerahnya. Begitu tergopoh gopohnya Gubernur Banten ketika jembatan penyeberangan sungai  bagi siswa di daerahnya begitu membahayakannya dan menjadi pemberitaan dunia internasional. Begitu gusarnya rakyat ketika banyaknya SD yang ambruk ditengah-tengah besarnya dana pendidikan dalam APBN kita. 

Ironi yang lain, bila kita rajin untuk membaca biography tokoh-tokoh terkenal dan memiliki kehidupan yang mapan di Indonesia, baik yang sedang menjabat maupun yang sudah purna tugas, 99 % tokoh itu mengaku lahir dalam keluarga yang penuh keterbatasan, bahkan banyak yang lebay mengaku lahir dari keluarga   miskin dan tak berkecukupan, mengenaskan layaknya Tasripin, dan sekarang berhasil mencapai kesuksesan setelah berjuang kerja keras berpuluh tahun lamanya. Namun tak banyak yang peduli terhadap sejarah dirinya, ketika dihadapkan pada kasus yang sama. Adapun yang peduli mensyaratkan harus di depan kamera media bak artis dadakan yang berusaha menarik simpati demi ketenaran. Kepedulian ternyata sudah menjadi hal yang langka. Kepedulian sudah menjadi konsumsi “keartisan”.

Rasanya dahaga akan kepedulian sedikit terobati, ketika banyak dari tokoh-tokoh muda bangsa ini mulai memikirkan langkah-langkah terstruktur untuk membangun kepedulian. Tak asing bagi kita kiprah Anis Baswedan ketika membangun Yayasan Indonesia Mengajar, yang berusaha mendorong dan memberikan semangat bagi generasi muda untuk selalu menuntut ilmu, dan  Andy F. Noya dengan Yayasan Kick Andy nya yang banyak membantu memberikan sumbangan bagi penderita cacat di seluruh nusantara. Semuanya kepedulian ditujukan untuk menerobos kepedulian yang mengalami kebekuan yang cukup lama di negeri ini.

Gerakan-gerakan kepedulian sebenarnya sudah banyak bermunculan, baik itu yang bergerak di sektor kesehatan seperti Yayasan Anyo Indonesia dan YKAKI yang bergerak membantu anak-anak penderita Kanker, Yayasan Thalasemia Indonesia yang membantu para penderita Thalasemia dan mensosialisasikan penyakit Thalasemia. Yayasan yang bergerak dan peduli di bidang Lingkungan seperti Greenpeace, Yayasan yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan seperti Yayasan Pusaka, Yayasan yang bergerak memberikan pembekalan bagi para pencari kerja seperti Yayasan Indonesia Berbakti, serta ratusan yayasan lain yang bergerak dibidang humanitarian dan hak-hak asasi manusia dan bahkan gerakan-gerakan sporadis seperti Koin untuk Prita dll.

Menarik apa yang dilakukan oleh Gus Dur ketika pada masa pemerintahannya, dalam hal banyak yang menggugat keputusannya untuk membubarkan Departemen Sosial. Beliau menganggap bahwa Departemen Sosial tidak diperlukan lagi, mengingat kepedulian sosial dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat dan semua instansi baik swasta maupun pemerintah. Yang perlu dilakukan adalah dengan mengalokasikan dana yang lebih besar untuk peran-peran corporate sosial responsibility dan bukannya membuat sebuah jalur birokrasi berbentuk kementerian sosial yang justru akan memperlambat kepedulian sosial itu sendiri. Pemikiran visioner Gusdur tentunya tak mudah diterima oleh para birokrat-birokrat dan politisi-politisi yang banyak mendapatkan keuntungan dengan keberadaan Departemen ini. Sehingga ide besar Gusdur begitu mudahnya tumbang. Hal ini menunjukkan bahwa Ide visioner terkalahkan oleh realitas pragmatis yang terjadi pada saat itu.

Kembali ke kondisi Tasripin, akankah pemerintah bergerak cepat untuk menemukan solusi terbaik dalam kasus ini yang dilakukan melalui perangkat resminya, baik itu otoritas Departemen Sosial ataukah Departemen Pembangunan Daerah tertinggal , ataukah hanya jargon-jargon kepedulian berbentuk himbauan dan lip service saja yang dilakukan, seperti yang selama ini dikritisi oleh masyarakat. Apakah dibutuhkan gerakan masyarakat yang masiv untuk menggantikan peran pemerintah, seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari. Kalau hal ini terjadi maka sangatlah benar argumentasi sebagian masyarakat bahwa negara ini adalah negara autopilot tanpa pengemudi dan tanpa pengendali.