Selasa, 16 April 2013

Tasripin


Look at a day when you are supremely satisfied at the end. 
It's not a day when you lounge around doing nothing;
it's when you've had everything to do, and you've done it.
~ Margaret Thatcher
 


Mungkin tak banyak orang mengenal, Tasripin bocah umur 12 tahun asal sebuah dusun kecil di desa Gunung Lurah Kecamatan cilongok kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang hidup bersama ketiga adiknya sebatangkara tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Ibu Tasripin telah lama meninggal dunia, sedangkan ayahnya terpaksa merantau ke Kalimantan dengan kakak tertua, bekerja untuk mencari nafkah dan sekali sekali mengirimkan uang ke Tasripin, dan itupun tak selalu rutin. Untuk menghidupi kebutuhannya dan ketiga adiknya tersebut, dengan terpaksa Tasripin harus putus sekolah dan bekerja sebagai buruh tani harian di desanya.

Ditengah gembar gembornya pemerintah menyiarkan tingkat pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi berkisar 6,5 %, namun dipojok yang sunyi seorang bocah yang seharusnya sedang menjalani masa kecil yang bahagia, bercengkrama gembira dengan teman-teman sebayanya, harus dengan susah payah menjadi buruh tani di desanya agar bisa menghidupi 3 orang adik kecil yang sebagian besar putus sekolah. Dengan hanya berpenghasilan tidak tetap sebesar Rp. 30.000 per hari, bocah ini berusaha untuk selalu dapat menghidupi makan adik-adiknya dan berusaha untuk membiayai pendidikan adik terkecilnya. Kedua adik yang lain juga harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Sosok Tasripin  merupakan cerminan bagaimana kontrasnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini.

Beratus-ratus kilo meter disebelah barat dari Dusun tersebut, meringkuk dalam sel tahanan KPK sesosok Jendral yang selalu tersenyum bak artis di depan kamera media, yang mengemplang uang rakyat hingga ratusan milyar rupiah, dan yakin bahwa hukumannya hanya sekedar 2 atau 3 tahun lamanya seperti halnya koruptor pendahulu yang mengkorupsi uang rakyat ratusan milyar juga. Mungkin kita hanya bisa berandai-andai, andaikata 100 milyar uang yang di korupsi Jenderal tersebut dipergunakan oleh Tasripin yang mampu mengolah dengan segala keterbatasan Uang Rp. 30.000,- untuk menghidupi ketiga adiknya, maka mereka ber-empat bisa tercukupi hingga 3.333.333 hari atau 9.132,5 tahun lamanya. Kalau hidup manusia maksimal 100 tahun, dengan pola konsumsi dan jumlah pengkonsumsi yang sama maka bisa secara serial menghidupi Tasripin 91,32 turunan lamanya, dan bukan hanya sekedar tujuh turunan.

Beratus-ratus kilo meter disebelah timur laut, pada saat yang bersamaan, sedang diselenggarakan event gegap gempita bernilai ratusan milyar untuk saling merebut posisi pemerintahan dan menjadi raja penguasa di propinsi di mana Tasripin berada. Sangatlah ironis uang rakyat yang digulirkan untuk mensukseskan event tersebut, ternyata dapat menghidupi Tasripin Tasripin lain dengan jumlah tahun yang tentunya lebih fantastis lagi.

Sungguh Ironi yang menggelikan. Kalau begitu yang terjadi untuk apakah kekuasaan itu sebenarnya? Apakah ini wujud Keadilan BerkeTuhanan?

Ada kekhawatiran bahwa Tuhan hanya menjadi rujukan ditengah-tengah kepasrahan, sehingga argumentasi Tuhan itu adil, sedikit bisa menjadi penghibur. Padahal pada kenyataannya sudah banyak yang tak peduli atau bahkan tak mampu karena mengalami hal yang sama. Contoh konkret pada kasus Tasripin, dapatlah dipertanyakan bentuk kepedulian aparat dusun dan desa seperti apa?, demikian juga aparat kelurahan dan kecamatan, aparat kabupaten dan Gubernur. Apakah Raskin dan SKTM hanya gembar-gembor saja sehingga untuk jaminan sekolah saja tidak bisa, ataukah ternyata di daerah tersebut terlalu banyak Tasripin Tasripin lainnya sehingga terjadi kesusahan struktural untuk selalu “menyangoni” Tasripin ini. 

Rasanya kita tidak bisa menyalahkan rakyat bila selalu berteriak, dimana negara? Dimana pemerintah? Rasanya kita juga tidak bisa memungkiri bahwa di negara ini mungkin banyak tasripin-tasripin lainnya. Namun yang kita sesali bahwa Tasripin-tasripin hanya selalu dijadikan jargon kepedulian ketika ingin merebut kekuasaan tanpa memahami esensi kekuasaan itu sendiri. Tasripin hanya menjadi figur kepedulian sesaat dari para tokoh nasional yang super berkecukupan. Tak lekang dari ingatan kita, begitu tergopoh-gopohnya aparat di NTT ketika muncul pemberitaan busung lapar di daerahnya. Begitu tergopoh gopohnya Gubernur Banten ketika jembatan penyeberangan sungai  bagi siswa di daerahnya begitu membahayakannya dan menjadi pemberitaan dunia internasional. Begitu gusarnya rakyat ketika banyaknya SD yang ambruk ditengah-tengah besarnya dana pendidikan dalam APBN kita. 

Ironi yang lain, bila kita rajin untuk membaca biography tokoh-tokoh terkenal dan memiliki kehidupan yang mapan di Indonesia, baik yang sedang menjabat maupun yang sudah purna tugas, 99 % tokoh itu mengaku lahir dalam keluarga yang penuh keterbatasan, bahkan banyak yang lebay mengaku lahir dari keluarga   miskin dan tak berkecukupan, mengenaskan layaknya Tasripin, dan sekarang berhasil mencapai kesuksesan setelah berjuang kerja keras berpuluh tahun lamanya. Namun tak banyak yang peduli terhadap sejarah dirinya, ketika dihadapkan pada kasus yang sama. Adapun yang peduli mensyaratkan harus di depan kamera media bak artis dadakan yang berusaha menarik simpati demi ketenaran. Kepedulian ternyata sudah menjadi hal yang langka. Kepedulian sudah menjadi konsumsi “keartisan”.

Rasanya dahaga akan kepedulian sedikit terobati, ketika banyak dari tokoh-tokoh muda bangsa ini mulai memikirkan langkah-langkah terstruktur untuk membangun kepedulian. Tak asing bagi kita kiprah Anis Baswedan ketika membangun Yayasan Indonesia Mengajar, yang berusaha mendorong dan memberikan semangat bagi generasi muda untuk selalu menuntut ilmu, dan  Andy F. Noya dengan Yayasan Kick Andy nya yang banyak membantu memberikan sumbangan bagi penderita cacat di seluruh nusantara. Semuanya kepedulian ditujukan untuk menerobos kepedulian yang mengalami kebekuan yang cukup lama di negeri ini.

Gerakan-gerakan kepedulian sebenarnya sudah banyak bermunculan, baik itu yang bergerak di sektor kesehatan seperti Yayasan Anyo Indonesia dan YKAKI yang bergerak membantu anak-anak penderita Kanker, Yayasan Thalasemia Indonesia yang membantu para penderita Thalasemia dan mensosialisasikan penyakit Thalasemia. Yayasan yang bergerak dan peduli di bidang Lingkungan seperti Greenpeace, Yayasan yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan seperti Yayasan Pusaka, Yayasan yang bergerak memberikan pembekalan bagi para pencari kerja seperti Yayasan Indonesia Berbakti, serta ratusan yayasan lain yang bergerak dibidang humanitarian dan hak-hak asasi manusia dan bahkan gerakan-gerakan sporadis seperti Koin untuk Prita dll.

Menarik apa yang dilakukan oleh Gus Dur ketika pada masa pemerintahannya, dalam hal banyak yang menggugat keputusannya untuk membubarkan Departemen Sosial. Beliau menganggap bahwa Departemen Sosial tidak diperlukan lagi, mengingat kepedulian sosial dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat dan semua instansi baik swasta maupun pemerintah. Yang perlu dilakukan adalah dengan mengalokasikan dana yang lebih besar untuk peran-peran corporate sosial responsibility dan bukannya membuat sebuah jalur birokrasi berbentuk kementerian sosial yang justru akan memperlambat kepedulian sosial itu sendiri. Pemikiran visioner Gusdur tentunya tak mudah diterima oleh para birokrat-birokrat dan politisi-politisi yang banyak mendapatkan keuntungan dengan keberadaan Departemen ini. Sehingga ide besar Gusdur begitu mudahnya tumbang. Hal ini menunjukkan bahwa Ide visioner terkalahkan oleh realitas pragmatis yang terjadi pada saat itu.

Kembali ke kondisi Tasripin, akankah pemerintah bergerak cepat untuk menemukan solusi terbaik dalam kasus ini yang dilakukan melalui perangkat resminya, baik itu otoritas Departemen Sosial ataukah Departemen Pembangunan Daerah tertinggal , ataukah hanya jargon-jargon kepedulian berbentuk himbauan dan lip service saja yang dilakukan, seperti yang selama ini dikritisi oleh masyarakat. Apakah dibutuhkan gerakan masyarakat yang masiv untuk menggantikan peran pemerintah, seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari. Kalau hal ini terjadi maka sangatlah benar argumentasi sebagian masyarakat bahwa negara ini adalah negara autopilot tanpa pengemudi dan tanpa pengendali.

Minggu, 07 April 2013

Kentut...



People begin to become successful the minute they decide to be.
~ Harvey Mackay 

Siapa nih yang kentut?, suatu umpatan yang biasa dilakukan oleh seseorang ketika mencium suatu bau yang tak sedap diantara sekumpulan orang lain. Rupanya orang tersebut sedang membutuhkan sebuah pengakuan dosa, walaupun kenyataan bau yang sudah dihirup tak mungkin dengan mudah dihilangkan begitu saja. Apakah dengan pengakuan dosa, bau akan kembali menjadi harum? Jelas dan pasti tentu tidak jawabannya. Mungkin pengakuan dosa dibutuhkan sebagai bentuk katarsis yang dapat meringankan rasa bau dan kesal dihati. Disisi lain, memang sulit membayangkan bahwa yang kentut akan mengakuinya, kecuali pada saat kentut disertai dengan bunyinya. Apakah yang mencium akan memaafkannya setelah tahu, tentunya belum dapat dipastikan juga.

Bila ditilik secara sederhana, fenomena tak sedap ini seringkali terjadi dalam bentuk yang berbeda. Penegak hukum mengalami kesusahan untuk menggali pengakuan dengan cara yang halus dari seorang tersangka kejahatan, akibat tidak mudahnya bagi pelaku kejahatan untuk mengakui kesalahannya dan juga karena  lemahnya bukti hukum yang ada. Bukan rahasia lagi bahwa cara umum yang sering ditempuh oleh penegak hukum untuk mengorek keterangan dari tersangka adalah dengan menggunakan kekerasan. Apakah kekerasan merupakan cara satu-satunya untuk menggali pengakuan. Tentu jawabannya juga tidak. Bagi penegak hukum, kekerasan diamini sebagai langkah terakhir. Mereka menyadari bahwa cara persuasiflah yang perlu dilakukan, dengan sebuah catatan besar bahwa si tersangka akan secara sukarela mengakui dosa yang dilakukan. Atau dengan cara melengkapi fakta dan bukti-bukti hukumnya sehingga tidak memungkinkan bagi tersangka untuk menolaknya.

Dimanapun secara umum ada keterbatasan bagi seseorang untuk mengakui hal-hal yang dirasanya negatif. Hal ini bisa didasarkan beberapa alasan, baik itu karena alasan ketakutan akan dampak negatif yang bisa muncul dari pengakuannya tersebut ibarat bola liar yang susah di kontrol, ketidaknyamanan untuk melakukan keterbukaan terhadap orang yang tak dirasa “dekat”, melihat kepentingan yang lebih luas dan dapat mengganggu kepentingan korp atau tim, hingga yang berprinsip rahasia adalah tetap rahasia.

Banyak cara yang ditempuh agar faktor yang mengganjal di lubuk hati dapat segera teratasi, ada yang menunjukkan ekspresi emosi dgn berbagai cara seperti berteriak, tertawa, marah dan membentak, diam dan menangis. Berdasar ilmu kesehatan jiwa, memendam perasaan yang cukup lama dapat berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan fisik maupun psikologis. Oleh karenanya, banyak bermunculan lembaga-lembaga konsultasi psikologis yang menyediakan jasa bimbingan dan konseling untuk membantu proses katarsis tersebut. Disamping itu di agama tertentu pun ada yang menyediakan fasilitas untuk melakukan pengakuan dosa secara formal. Selain melalui media formal tadi, katarsis juga dilakukan dengan banyak hal, untuk pekerja biasa melakukan “karaoke” bersama, melakukan futsal, basket dan berbagai kegiatan positif lainnya. Namun tak sedikit yang melakukan katarsis dengan cara yang salah, menggunakan narkoba, mabuk, memelihara WIL dan PIL, dan bahkan juga berjudi.

Satu ajaran prilaku yang ditanamkan oleh orangtua kita dari dahulu hingga sekarang adalah jangan sekali-kali buang sampah di sembarang tempat, dan bahkan untuk kencing pun kita diharapkan untuk meminta ijin dengan menyebut satu atau dua patah kata permohonan ijin. Begitu santunnya orang tua kita ketika memandang interaksi mereka dengan lingkungan, sehingga terkesan tidak enak bila prilaku mereka dapat merugikan pihak lain. Demikian pula sebaliknya, ada harapan bahwa setiap orang akan berprilaku baik kepada mereka seperti yang mereka lakukan pada orang lain. Ini adalah sebuah contoh dari pendidikan budi pekerti yang saat ini sudah mulai memudar.
Dari pendidikan budi pekerti kita diajarkan untuk tidak menjadi beban bagi masyarakat dgn membuat masyarakat di lingkungan kita menjadi tidak nyaman. Hal ini berarti begitu pentingnya bagi kita melihat dari sisi kepentingan pihak lain. Kadangkala hal inilah yang seringkali dilupakan. Banyak yang lebih mementingkan egonya masing-masing ketika berinteraksi dengan yang lainnya, seolah-olah hidup sendiri dan yang lainnya ngontrak. Seolah-olah bisa mengatur dan tak mau diatur. Seolah-olah hanya orang lain saja yang bergantung pada kita. Sejalan dengan perkembangan waktu semakin banyak fenomena ketidaksantunan seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Yidak banyak lagi  yang menghargai orang tua dan mau mendengarkan pihak lain.

Fenomena ketidaksantunan lainnya  banyak kita temui secara kasat mata dalam masyarakat luas seperti contohnya para pengendara kendaraan yang seenaknya melawan arus, sementara polisi hanya bisa “nyengir” melihatnya. Keengganan para guru untuk memukul tangan siswa akibat kenakalannya, lebih karena khawatir dianggap melakukan penyiksaan. Budaya serobot di jalan, parkir disembarang tempat dan bahkan banyak pejabat  tanpa malunya memamerkan kekayaan yang jelas-jelas tidak sesuai dengan pendapatannya.

Dalam konteks makro, bentuk-bentuk ketidaksantunan juga diperlihatkan oleh para pejabat kita. Tidak sedikit dukungan-dukungan yang diberikan oleh tokoh politik terhadap tersangka korupsi dengan melakukan kunjungan silaturahmi ke penjara, dengan alasan untuk memberikan perhatian terhadap rekan yang ditimpa kesusahan. Disamping itu, pencabulan yang dilakukan oleh beberapa guru terhadap anak didiknya justru membuat kita sangat heran dan cenderung tidak mampu menarik sebuah argumentasi  yang logik dari peristiwa tersebut kecuali menyeringai dengan wujud kemarahan. Contoh lain yang paling miris adalah pongahnya Hakim Agung MA sebagai garda terakhir penegakan keadilan dalam memalsukan putusanya dan berkongkalikong dengan para penjahat.

Pada dasarnya budi pekerti membutuhkan sebuah contoh. Budi pekerti bukanlah semacam ‘kentut’ yang tak terlihat bentuknya tapi terasa baunya. Contoh atau role model akan memudahkan kita dalam mengkonsepkan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan budi pekerti itu sendiri. Kita akan lebih mudah dalam memaknakan kata-kata jujur dan kejujuran, adil dan keadilan, disiplin dan kedisiplinan, kerja keras dan segudang kata-kata yang dapat menyombolkan spirit budi pekerti tersebut. Bisa dibayangkan bila semua penegak hukum bertindak profesional, jujur, kompeten dan tidak korup, tapi tidak jargon semata dan benar-benar dibuktikan secara real dilapangan. Bisa dibayangkan bila presiden dapat bersikap tegas terhadap para koruptor, menjadi contoh dalam penegakan hukum, dan menjadi pejuang hak asasi manusia dalam menentang diskriminasi sosial, dan tidak hanya sekedar berwacana saja. Tentunya hasilnya akan berbeda. Bisa dibayangkan kalau semua aparatur negara bisa bergerak secara profesional dan dapat memberikan pelayanan pada masyarakat dengan penuh pengabdian. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.

Begitu mudahnya kita mengikuti rambu-rambu lalu lintas ketika kita berada di negeri orang, dan disisi lain begitu mudahnya kita mengabaikannya ketika berada di negeri sendiri, menunjukkan bahwa spirit kesantunan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Tapi bagaimanakah kita mengubahnya? Pertanyaan ini selalu didengung-dengungkan, tapi tak banyak yang berinisiatif untuk mencarikan jawabannya. Apakah dibutuhkan musuh bersama untuk dapat menyatukan spirit kesantunan, ataukah kita perlu melakukan sebuah revolusi sosial seperti halnya yang dilakukan oleh China ketika memerangi korupsi yang tumbuh dikalangan birokratnya. Ataukah kita hanya butuh seorang pimpinan karismatik yang sederhana bak seorang Kalki Avatar atau seorang ratu adil untuk dapat mengubah mindset masyarakat untuk memiliki kesantunan sosial yang dapat dicontoh disetiap lapisan masyarakat.

Kadangkala ada harapan untuk mengubah mindset bahwa kentut bukanlah sebuah aib, kentut adalah suatu yang mahal harganya, bak suatu keadaan dimana seorang pasien yg habis dioperasi untuk ditunggu apakah sudah bisa kentut atau tidak untuk menyatakan kesembuhannya... untuk itu bisakah kentut diubah menjadi harum bak pengharum ruangan yang beraroma harum sesuai dengan keinginan penghuninya.... ataukah kita punya cara lain agar kentut dapat diterima oleh semua orang sebagai sebuah kewajaran dan bukannya sebuah olok-olok pertemanan... semasih kita selalu menganggap bahwa apapun yang berasal dari lubang pantat sebagai sebuah aib tentunya hal ini menjadi suatu yang tak mudah untuk dimaknakan sebagai sebuah kesantunan.... dan untuk menjawabnya dibutuhkan contoh berupa gagasan besar dan dilakukan oleh orang yang tepat... dan bersumber dari lubuk hati yang terdalam....