Look at a
day when you are supremely satisfied at the end.
It's not a day when you lounge
around doing nothing;
it's when you've had everything to do, and you've done
it.
~ Margaret Thatcher
~ Margaret Thatcher
Mungkin tak banyak orang
mengenal, Tasripin bocah umur 12 tahun asal sebuah dusun kecil di desa Gunung
Lurah Kecamatan cilongok kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang hidup bersama
ketiga adiknya sebatangkara tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Ibu
Tasripin telah lama meninggal dunia, sedangkan ayahnya terpaksa merantau ke
Kalimantan dengan kakak tertua, bekerja untuk mencari nafkah dan sekali sekali
mengirimkan uang ke Tasripin, dan itupun tak selalu rutin. Untuk menghidupi
kebutuhannya dan ketiga adiknya tersebut, dengan terpaksa Tasripin harus putus
sekolah dan bekerja sebagai buruh tani harian di desanya.
Ditengah gembar gembornya
pemerintah menyiarkan tingkat pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi berkisar
6,5 %, namun dipojok yang sunyi seorang bocah yang seharusnya sedang menjalani
masa kecil yang bahagia, bercengkrama gembira dengan teman-teman sebayanya, harus dengan
susah payah menjadi buruh tani di desanya agar bisa menghidupi 3 orang adik
kecil yang sebagian besar putus sekolah. Dengan hanya berpenghasilan tidak
tetap sebesar Rp. 30.000 per hari, bocah ini berusaha untuk selalu dapat
menghidupi makan adik-adiknya dan berusaha untuk membiayai pendidikan adik
terkecilnya. Kedua adik yang lain juga harus putus sekolah karena ketiadaan
biaya. Sosok Tasripin merupakan cerminan
bagaimana kontrasnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini.
Beratus-ratus kilo meter disebelah
barat dari Dusun tersebut, meringkuk dalam sel tahanan KPK sesosok Jendral yang
selalu tersenyum bak artis di depan kamera media, yang mengemplang uang rakyat
hingga ratusan milyar rupiah, dan yakin bahwa hukumannya hanya sekedar 2 atau 3
tahun lamanya seperti halnya koruptor pendahulu yang mengkorupsi uang rakyat
ratusan milyar juga. Mungkin kita hanya bisa berandai-andai, andaikata 100
milyar uang yang di korupsi Jenderal tersebut dipergunakan oleh Tasripin yang
mampu mengolah dengan segala keterbatasan Uang Rp. 30.000,- untuk menghidupi
ketiga adiknya, maka mereka ber-empat bisa tercukupi hingga 3.333.333 hari atau
9.132,5 tahun lamanya. Kalau hidup manusia maksimal 100 tahun, dengan pola
konsumsi dan jumlah pengkonsumsi yang sama maka bisa secara serial menghidupi
Tasripin 91,32 turunan lamanya, dan bukan hanya sekedar tujuh turunan.
Beratus-ratus kilo meter
disebelah timur laut, pada saat yang bersamaan, sedang diselenggarakan event gegap
gempita bernilai ratusan milyar untuk saling merebut posisi pemerintahan dan menjadi
raja penguasa di propinsi di mana Tasripin berada. Sangatlah ironis uang rakyat
yang digulirkan untuk mensukseskan event tersebut, ternyata dapat menghidupi
Tasripin Tasripin lain dengan jumlah tahun yang tentunya lebih fantastis lagi.
Sungguh Ironi yang
menggelikan. Kalau begitu yang terjadi untuk apakah kekuasaan itu sebenarnya?
Apakah ini wujud Keadilan BerkeTuhanan?
Ada kekhawatiran bahwa Tuhan hanya
menjadi rujukan ditengah-tengah kepasrahan, sehingga argumentasi Tuhan itu
adil, sedikit bisa menjadi penghibur. Padahal pada kenyataannya sudah banyak
yang tak peduli atau bahkan tak mampu karena mengalami hal yang sama. Contoh
konkret pada kasus Tasripin, dapatlah dipertanyakan bentuk kepedulian aparat
dusun dan desa seperti apa?, demikian juga aparat kelurahan dan kecamatan,
aparat kabupaten dan Gubernur. Apakah Raskin dan SKTM hanya gembar-gembor saja
sehingga untuk jaminan sekolah saja tidak bisa, ataukah ternyata di daerah
tersebut terlalu banyak Tasripin Tasripin lainnya sehingga terjadi kesusahan
struktural untuk selalu “menyangoni” Tasripin ini.
Rasanya kita tidak bisa
menyalahkan rakyat bila selalu berteriak, dimana negara? Dimana pemerintah? Rasanya
kita juga tidak bisa memungkiri bahwa di negara ini mungkin banyak
tasripin-tasripin lainnya. Namun yang kita sesali bahwa Tasripin-tasripin hanya
selalu dijadikan jargon kepedulian ketika ingin merebut kekuasaan tanpa
memahami esensi kekuasaan itu sendiri. Tasripin hanya menjadi figur kepedulian
sesaat dari para tokoh nasional yang super berkecukupan. Tak lekang dari
ingatan kita, begitu tergopoh-gopohnya aparat di NTT ketika muncul pemberitaan
busung lapar di daerahnya. Begitu tergopoh gopohnya Gubernur Banten ketika
jembatan penyeberangan sungai bagi siswa
di daerahnya begitu membahayakannya dan menjadi pemberitaan dunia
internasional. Begitu gusarnya rakyat ketika banyaknya SD yang ambruk
ditengah-tengah besarnya dana pendidikan dalam APBN kita.
Ironi yang lain, bila kita
rajin untuk membaca biography tokoh-tokoh terkenal dan memiliki kehidupan yang
mapan di Indonesia, baik yang sedang menjabat maupun yang sudah purna tugas, 99
% tokoh itu mengaku lahir dalam keluarga yang penuh keterbatasan, bahkan banyak
yang lebay mengaku lahir dari keluarga miskin dan tak berkecukupan, mengenaskan
layaknya Tasripin, dan sekarang berhasil mencapai kesuksesan setelah berjuang
kerja keras berpuluh tahun lamanya. Namun tak banyak yang peduli terhadap
sejarah dirinya, ketika dihadapkan pada kasus yang sama. Adapun yang peduli
mensyaratkan harus di depan kamera media bak artis dadakan yang berusaha
menarik simpati demi ketenaran. Kepedulian ternyata sudah menjadi hal yang
langka. Kepedulian sudah menjadi konsumsi “keartisan”.
Rasanya dahaga akan
kepedulian sedikit terobati, ketika banyak dari tokoh-tokoh muda bangsa ini
mulai memikirkan langkah-langkah terstruktur untuk membangun kepedulian. Tak
asing bagi kita kiprah Anis Baswedan ketika membangun Yayasan Indonesia Mengajar,
yang berusaha mendorong dan memberikan semangat bagi generasi muda untuk selalu
menuntut ilmu, dan Andy F. Noya dengan
Yayasan Kick Andy nya yang banyak membantu memberikan sumbangan bagi penderita cacat
di seluruh nusantara. Semuanya kepedulian ditujukan untuk menerobos kepedulian
yang mengalami kebekuan yang cukup lama di negeri ini.
Gerakan-gerakan kepedulian
sebenarnya sudah banyak bermunculan, baik itu yang bergerak di sektor kesehatan
seperti Yayasan Anyo Indonesia dan YKAKI yang bergerak membantu anak-anak
penderita Kanker, Yayasan Thalasemia Indonesia yang membantu para penderita
Thalasemia dan mensosialisasikan penyakit Thalasemia. Yayasan yang bergerak dan
peduli di bidang Lingkungan seperti Greenpeace, Yayasan yang bergerak di bidang
perlindungan anak dan perempuan seperti Yayasan Pusaka, Yayasan yang bergerak
memberikan pembekalan bagi para pencari kerja seperti Yayasan Indonesia
Berbakti, serta ratusan yayasan lain yang bergerak dibidang humanitarian dan
hak-hak asasi manusia dan bahkan gerakan-gerakan sporadis seperti Koin untuk
Prita dll.
Menarik apa yang dilakukan
oleh Gus Dur ketika pada masa pemerintahannya, dalam hal banyak yang menggugat
keputusannya untuk membubarkan Departemen Sosial. Beliau menganggap bahwa
Departemen Sosial tidak diperlukan lagi, mengingat kepedulian sosial dapat
dilakukan oleh semua elemen masyarakat dan semua instansi baik swasta maupun
pemerintah. Yang perlu dilakukan adalah dengan mengalokasikan dana yang lebih besar untuk
peran-peran corporate sosial responsibility dan bukannya membuat sebuah jalur
birokrasi berbentuk kementerian sosial yang justru akan memperlambat kepedulian
sosial itu sendiri. Pemikiran visioner Gusdur tentunya tak mudah diterima oleh
para birokrat-birokrat dan politisi-politisi yang banyak mendapatkan keuntungan
dengan keberadaan Departemen ini. Sehingga ide besar Gusdur begitu mudahnya
tumbang. Hal ini menunjukkan bahwa Ide visioner terkalahkan oleh realitas pragmatis yang terjadi
pada saat itu.
Kembali ke kondisi Tasripin,
akankah pemerintah bergerak cepat untuk menemukan solusi terbaik dalam kasus
ini yang dilakukan melalui perangkat resminya, baik itu otoritas Departemen Sosial
ataukah Departemen Pembangunan Daerah tertinggal , ataukah hanya jargon-jargon
kepedulian berbentuk himbauan dan lip service saja yang dilakukan, seperti yang selama ini
dikritisi oleh masyarakat. Apakah dibutuhkan gerakan masyarakat yang masiv
untuk menggantikan peran pemerintah, seperti yang terjadi pada kasus Prita Mulyasari.
Kalau hal ini terjadi maka sangatlah benar argumentasi sebagian masyarakat
bahwa negara ini adalah negara autopilot tanpa pengemudi dan tanpa pengendali.