Minggu, 15 Desember 2013

"The Power of Execution"



Success is walking from failure to failure with no loss of enthusiasm.
    Winston Churchill 

Beberapa tahun yang lalu, sebelum grup lawak Srimulat bubar, saya pernah menonton adegan lucu ketika Tarzan tokoh utama episode saat itu bertanya kepada seorang pelawak lainnya yang berperan sebagai “batur” atau pembantu rumah tangga. Pertanyaannya sangat sederhana, tapi kualitasnya pertanyaannya mungkin akan membuat seorang professor akan mengernyitkan dahinya. Ia bertanya, bagaimana memberantas kemiskinan di Indonesia? Tentunya pertanyaan ini tidak mudah dijawab oleh seorang professor ekonomi dan bahkan  presiden sekalipun, karena butuh berpuluh-puluh tahun untuk bisa merumuskan kebijakan yang belum tentu juga berhasil diimplementasikan agar bisa  mengentaskan kemiskinan. Jawaban tak terduga dari pertanyaan itu dan sedikit kejam namun membuat kita tersenyum adalah sangat sederhana, yaitu “bunuhi saja yang miskin-miskin”. Walaupun terkesan kejam dan melanggar HAM, jawaban yang disertai canda terkesan pragmatis sifatnya.

Pragmatisme, kadangkala menjadi jawaban ketika langkah-langkah strategis sangat susah dilakukan. Kita bisa lihat, begitu susahnya beberapa gubernur di Jakarta sejak era Ali Sadikin membuat tertib kawasan Tanah Abang. Banyak strategi telah dibuat, namun sepertinya lemah diimplementasi, karena kebanyakan strategi yang dibuat tidak disertai oleh goodwill serta kekuatan integritas dalam pelaksanaanya. Tiba-tiba kita sedikit terhenyak,  kawasan yang terkenal dengan kesemrawutannya tersebut justru bisa dituntaskan hanya dalam waktu 2 bulan. Kalimat pramagtis dan juga diplomatis yang disampaikan untuk  menggambarkan masalah tersebut; “hal  ini bukan menggusur tapi menggeser”. Apakah Blok G sebagai tempat penampungan pedagang liar tersebut baru ada? Apakah upaya penertiban hanya baru sekarang dilakukan? Jawabannya tentu TIDAK. Yang membedakannya adalah letaknya pada kekuatan untuk melakukan eksekusi. Berpuluh-puluh studi dilakukan untuk menata ibu kota ini,  biayanyapun tidak murah. Beratus-ratus milyar uang rakyat digunakan, tetapi tetap  tidak mudah diimplementasikan. Ternyata jawaban sedikit terkuak, kekuatan perencanaan tidak disertai oleh kekuatan untuk mengeksekusinya akan membuat semua upaya hanya menjadi mimpi semata.

Banyak pelaku  bisnis yang sangat lemah dalam proses eksekusi. Perencanaan bisnis dibuat sangat sempurna dan bahkan menggunakan konsultan yang dibayar dengan cukup mahal. Tapi sejalan dengan kepergian konsultan, pergi juga rencana tersebut, lebih karena sangat sedikit yang mampu mengeksekusinya. Bisa dibayangkan bila perusahaan diisi oleh team yang lemah dalam mengeksekusi rencana, sampai kapan perusahaan tersebut akan bertahan dalam persaingan yang sangat ketat. Ignasius Jonan, Direktur Utama PT KAI pernah bercerita tentang bagaimana beratnya melakukan transformasi di KAI. Seperti kita ketahui bahwa KAI adalah salah satu BUMN yang selalu merugi. Pandangan umum masyarakat terhadap KAI adalah salah satu BUMN yang “mati segan hidup tak mampu”. Siapapun akan merasa mudah untuk menjadi direktur utama di BUMN ini, karena kalaupun gagal, tidak akan menghebohkan. Toh selama ini Direktur Utama sebelumnya juga tidak mampu melakukan perubahan. Tapi Ignasius Jonan punya pemikiran yang berbeda. Ia menganggap bahwa perlu sentuhan “spektakuler” berupa sebuah kekuatan eksekusi. Langkah pertama yang dilakukan adalah tentunya mereformasi sumber daya manusianya. Ia  melakukan pemetaan terhadap SDM nya. Ia melihat bahwa secara demografi, terlalu banyak orang “tua” yang menggelantungi gerbong KAI, sehingga KAI menjadi terseok-seok, ketika akan dituntut untuk berlari. Ia berkata bahwa;”Kalau ingin melakukan pembenahan KAI harus dilakukan dari dalam, tidak boleh merengek-rengek belas kasihan pada pihak lain”. Langkah drastis yang dilakukan adalah memperbaiki system promosi yang mengarah meritokrasi, tidak ada system urut kacang dalam penentuan posisi, suatu kondisi yang tabu kalau kita lihat kultur di BUMN saat ini. Ia tidak merasa perlu mengurangi karyawan. Menurutnya karyawan jumlahnya tak kurang, yang kurang adalah pekerjaannya. Yang kedua yang ia lakukan adalah dengan pembenahan system penggajian. Ia melakukan kenaikan gaji dan melihat kembali struktur Gaji. Ia tak segan menaikkan gaji karyawannya yang dainggap tak sesuai. Walaupun upaya ini dilakukan saat KAI memiliki kerugian sebesar 83,4 M tahun 2008, namun dampaknya justru pada tahun 2009 KAI meraup keuntungan sebesar 153,8 M.

Seperti layaknya Gubernur DKI, Joko Widodo, hal yang menarik yang dilakukannya adalah dengan menerapkan shopfloor management. Ia berkomitmen bahwa  akan berada di ruangannya hanya 1 hari dalam 1 minggunya. Sisanya, ia putuskan untuk selalu berada dilapangan. Upaya yang ia lakukan ternyata membawa hasil yang sangat signifikan. Perubahan drastis terjadi di PT KAI. Terlihat kenyamanan ketika kita memasuki stasiun kereta yang ada, tak seperti sebelumnya yang terkesan kumuh. Eksekusi langsung dilakukan di lapangan ketika ia melihat ada hal-hal yang kurang. Selain itu, System boarding diterapkan, dan E-tiket disosialisasikan. Tentunya upaya yang dilakukannya banyak mengalami tentangan. Tapi dengan keyakinan dan pengalamannya, ia bertahan dengan keputusannya. Yang memperkuat semangatnya untuk membenahi KAI, terlebih karena ia tak memiliki vested interest didalamnya. 

Tentunya perubahan yang dilakukan membawa hasil yang signifikan. Secara finansial, KAI memperoleh profit yang cukup signifikan sejak tahun 2009. Karyawan KAI juga  merasa bangga pada kemampuan perusahaannya, dan mulai menunjukkan kinerja yang baik. Dan yang jelas pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Inilah wujud dari kekuatan eksekusi dilapangan.  Sebuah cara pendekatan dalam mengatasi problema riil pengelolaan perusahaan. Rasanya pendekatan ini sangat tepat diterapkan bagi perusahaan atau institusi yang sedang mengalami kebakaran. Dibutuhkan leader yang kuat untuk menjadi pemadam kebakaran dan juga menyiapkan fondasi yang kuat bagi keberlangsungan usaha selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar