A crust eaten
in peace is better than a banquet partaken in anxiety.
~ Aesop
Bagi penggemar kuliner tentu tak asing dengan
nama Bondan Winarno, seorang trendsetter dibidang kuliner, yang sering tampil
di acara-acara ataupun ulasan tentang kulineri Nusantara dan terkenal dengan
jargon “Maknyus” nya. Sosok Pak Bondan,
yang sering ditemani oleh seorang presenter wanita, dan dengan gaya blusukannya
yang khas ke restoran pinggir jalan dan makanan kampung hingga menu-menu modern
yang tersaji di Restoran-restoran berkelas mencoba mengenalkan ke publik atau masyarakat bahwa
begitu kayanya republik ini dengan keragaman kulinernya sehingga menjadi suatu
yang harus dan perlu diketahui oleh masyarakat. Pak Bondan telah mengilhami
lahirnya spirit nasionalisme kuliner, yang sempat adem ayem berapa dekade
terakhir. Program yang di gawanginya di beberapa statsiun TV banyak mengilhami program-program sejenis di berbagai
media baik itu media eletronik maupun media cetak. Dan bahkan saat ini telah
banyak muncul kelompok-kelompok sosial yang terkait erat dengan masalah kuliner
ini, seperti Natural Cooiking Club (NCC) yang sering mengadakan event bagi para
pe Hobbies masak-memasak di Jakarta serta melalui web dan jejaring sosialnya
telah merambah secara nasional. Ada juga beberapa kelompok sosial lain yang
bergabung karena suka pada jenis produk makanan dan minuman tertentu, seperti misalnya
para penggemar wine yang tergabung dalam
Indonesia Wine Club (IWC). Disamping banyaknya muncul klub-klub kuliner tersebut, tempat-tempat
yang dikunjungi dan telah dipublikasikan di acara kuliner di media elektronik, seolah-olah tertimpa rejeki, karena banyak
wisatawan kuliner mencoba mencicipi makanan yang telah dipromosikan oleh Pak
Bondan tersebut.
Rasanya
dalam hal jenis dan momentumnya, urusan perut bukanlah suatu yang perlu
dikhawatirkan di republik ini, dari acara keluarga, silaturahmi dengan rekan
dan teman sejawat, makan siang bersama, buka puasa bersama, acara perkawinan,
kunjungan kedinasan ke daerah maupun keluar negeri, kegiatan olahraga dan
bahkan acara-acara yang berkaitan dengan kematian pun diisi dengan acara
makan-makan. Bahkan makan yang disajikan
kadangkala menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah acara. Tamu dalam
perhelatan menjadikan menu dan
melimpahnya sajian makanan sebagai sebuah gunjingan pasca event
dijalankan. Oleh karenanya banyak yang
mengatakan bahwa budaya makan adalah budaya kita, budaya yang juga dikaitkan
dengan kesantunan masyarakatnya. Namun
bila kita cermati secara lebih seksama, masalah kuliner saat ini nampaknya tidak
lagi hanya sekedar masalah mengisi perut, kuliner sudah menjadi sebuah
keunggulan kompetitif baru ditengah pergaulan sosial. Sederhananya, banyak orang
yang merasa unggul ketika telah mencoba sejenis makanan baru yang berbeda
dan yang belum pernah dicoba rasakan
oleh rekan lainnya. Dan bagi yang lainnya akan terdorong untuk mencari dan
mencobanya. Potensi ini benar-benar dimanfaatkan oleh pengelola pariwisata.
Dahulunya kita hanya mengenal wisata alam dan wisata seni dan budaya, sekarang
kita dikenalkan juga wisata kuliner.
Yang
tak boleh dilupakan bahwa ephoria wisata kuliner adalah pemicu pertumbuhan
ekonomi di daerah-daerah. Banyak ragam merk makanan yang tadinya terkenal di
daerah-daerah telah mulai merambah melalui franchaising
ke ibukota Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya. Di Jakarta saja berpuluh-puluh
Restoran Soto Ambengan Pak Sadi Asli kita bisa kita temukan di seantero
Jakarta. Demikian juga merk-merk lainnya, seperti Soto Pak Min Klaten, Nasi
Bali dan Ayam Betutu Dolar, Bebek Kaleo,
Sop Daging Leko, Tahu Gimbal Semarang, Sate Kempleng, Soto Bogor, Rawon Setan
Mbak Endang, Tahu Pletok Tegal, Rawon Nguling Surabaya, Gudeg Yu Jum, Ayam
Goreng Mbok Berek, Sate Padang Mak Syukur, Soto Kudus, Pecel Madiun, Soto
Banjar, Pempek Palembang, Es Pisang Hijau Makasar, Ayam Taliwang Sumbawa, Rujak
Cingur Surabaya, Sate Ayam dan Kambing Madura, Babi Guling Gianyar, Mi Jawa
Mbah Mo Jogja, Siomay Bandung, Bakso Malang, Ayam Goreng Kalasan, Gudeg Koyor
Salatiga, Sop Tengkleng Wonogiri, Nasi Leko dan Jamblang Cirebon, Sate Kambing
Batibul Tegal, Empal Gentong Cirebon, Soto dan tangkar Iga Betawi, Sop Conro
dan Coto Makasar, Bandeng Presto Juwana, Mie Atjeh, Nasi Liwet Solo, Bubur Manado, Lumpia Semarang, Tempe Mendoan
Purwokerto, Nasi Gandul Pati, Kwetiaw Medan, dan masih banyak lagi ragam kuliner
Nusantara, yang tentunya perlu kita coba. Yang selalu menjadi pertanyaan apakah
yang ada di Jakarta seenak aslinya? Pertanyaan ini akan menjadi dorongan bagi
mereka yang suka kuliner untuk langsung eksplorasi ketempat dimana makanan
tersebut berasal.
Ada
hal yang kadang dilupakan dibalik begitu beragamnya jenis makanan nusantara,
dimana keragaman ini dilahirkan oleh para chef-chef tradisional yang mempertahankan
resep dan citarasa secara turun temurun. Mereka adalah para maestro seni
dibidang kuliner, yang menciptakan berbagai jenis makanan dengan penuh dedikasi
dan tanpa suara. Makanan yang diciptakan tidak hanya enak dimakan, tetapi juga
merupakan hasil karya besar di balik layar yang sangat mengagumkan. Namun
sayang sekali hingga saat ini belum ada program penghargaan khusus yang mampu
mengapresiasi para chef-chef penjaga
tradisi tersebut seperti layaknya maestro seni dan budaya lainnya. Belum ada
penghargaan yang diberikan baik pemerintah maupun organisasi swasta kepada
pelopor-pelopor di bidang kuliner ini. Yang ada hanya piala-piala juara bagi
chef-chef yang menang dalam kompetisi kuliner. Memang patut disayangkan bahwa
keragaman kuliner yang dimiliki, cenderung dianggap biasa saja, dan hanya
sebagai suatu yang nikmat di lidah dan jadi pergunjingan ketika lapar. Kita
baru akan berteriak ketika banyak hasil karya bidang kuliner kita yang diakui
oleh negara lain sebagai karya anak bangsa nya. Kita juga baru menyadari bahwa
keragaman itu merupakan sebuah kekayaan bangsa (nation assets) ketika negara
lain memperoleh keuntungan ekonomis dari keragaman kuliner kita.
Tak
seperti di negara lain, yang sangat menghargai pengkreasi kuliner, di Indonesia
penghargaan hanya melekat pada nama yang tercantum sebagai merk dagangnya. Dan
keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap peniruan menyebabkan semakin
beragamnya jenis makanan dengan nama yang sama, dengan racikan yang berbeda
yang lahir karena kegagalan peniruan atau bahkan sengaja untuk memodifikasinya.
Namun terlepas dari itu, apapun selalu membawa dua sisi, baik dan buruk.
Baiknya adalah tentunya industri kuliner semakin berkembang dengan citarasa
yang berkembang pula. Buruknya tak banyak penghargaan yang muncul sebagai
akibat tak banyaknya dan tak umumnya resep makanan yang dipatenkan sebagai bagian
kekayaan intelektual.
Jaman
telah berkembang, telah banyak muncul chef-chef muda yang cukup terkenal
dalam kancah perkulineran. Tak asing ditelinga kita nama-nama seperti Chef
Farah Queen, Chef Marinka, Chef Degan, Chef Arnold, Chef Putu Ika dan
beberapa nama chef lainnya. Chef tidak sekedar sebagai sebuah profesi namun
sudah dianggap sebagai gelar, yang selalu melekat pada nama seperti ibaratnya
dokter dan profesor. Pekerjaan rumah terbesar para chef ini tidak saja
mewarisi apa-apa yang sudah dikreasikan oleh para chef tradisional tadi yang
terpenting adalah bagaimana mengamankan dan mengembangkan resep-resep
tradisional yang adiluhung agar dikenal dan menjadi cita rasa internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar