People begin to become successful the
minute they decide to be.
~ Harvey Mackay
~ Harvey Mackay
Siapa nih yang kentut?, suatu
umpatan yang biasa dilakukan oleh seseorang ketika mencium suatu bau yang tak sedap
diantara sekumpulan orang lain. Rupanya orang tersebut sedang membutuhkan
sebuah pengakuan dosa, walaupun kenyataan bau yang sudah dihirup tak mungkin
dengan mudah dihilangkan begitu saja. Apakah dengan pengakuan dosa, bau akan
kembali menjadi harum? Jelas dan pasti tentu tidak jawabannya. Mungkin
pengakuan dosa dibutuhkan sebagai bentuk katarsis yang dapat meringankan rasa
bau dan kesal dihati. Disisi lain, memang sulit membayangkan bahwa yang kentut
akan mengakuinya, kecuali pada saat kentut disertai dengan bunyinya. Apakah
yang mencium akan memaafkannya setelah tahu, tentunya belum dapat dipastikan
juga.
Bila ditilik secara
sederhana, fenomena tak sedap ini seringkali terjadi dalam bentuk yang berbeda.
Penegak hukum mengalami kesusahan untuk menggali pengakuan dengan cara yang
halus dari seorang tersangka kejahatan, akibat tidak mudahnya bagi pelaku
kejahatan untuk mengakui kesalahannya dan juga karena lemahnya bukti hukum yang ada. Bukan rahasia
lagi bahwa cara umum yang sering ditempuh oleh penegak hukum untuk mengorek
keterangan dari tersangka adalah dengan menggunakan kekerasan. Apakah kekerasan
merupakan cara satu-satunya untuk menggali pengakuan. Tentu jawabannya juga
tidak. Bagi penegak hukum, kekerasan diamini sebagai langkah terakhir. Mereka
menyadari bahwa cara persuasiflah yang perlu dilakukan, dengan sebuah catatan
besar bahwa si tersangka akan secara sukarela mengakui dosa yang dilakukan.
Atau dengan cara melengkapi fakta dan bukti-bukti hukumnya sehingga tidak
memungkinkan bagi tersangka untuk menolaknya.
Dimanapun secara umum ada
keterbatasan bagi seseorang untuk mengakui hal-hal yang dirasanya negatif. Hal
ini bisa didasarkan beberapa alasan, baik itu karena alasan ketakutan akan
dampak negatif yang bisa muncul dari pengakuannya tersebut ibarat bola liar
yang susah di kontrol, ketidaknyamanan untuk melakukan keterbukaan terhadap
orang yang tak dirasa “dekat”, melihat kepentingan yang lebih luas dan dapat
mengganggu kepentingan korp atau tim, hingga yang berprinsip rahasia adalah
tetap rahasia.
Banyak cara yang ditempuh
agar faktor yang mengganjal di lubuk hati dapat segera teratasi, ada yang
menunjukkan ekspresi emosi dgn berbagai cara seperti berteriak, tertawa, marah
dan membentak, diam dan menangis. Berdasar ilmu kesehatan jiwa, memendam
perasaan yang cukup lama dapat berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan
fisik maupun psikologis. Oleh karenanya, banyak bermunculan lembaga-lembaga
konsultasi psikologis yang menyediakan jasa bimbingan dan konseling untuk
membantu proses katarsis tersebut. Disamping itu di agama tertentu pun ada yang
menyediakan fasilitas untuk melakukan pengakuan dosa secara formal. Selain
melalui media formal tadi, katarsis juga dilakukan dengan banyak hal, untuk
pekerja biasa melakukan “karaoke” bersama, melakukan futsal, basket dan
berbagai kegiatan positif lainnya. Namun tak sedikit yang melakukan katarsis
dengan cara yang salah, menggunakan narkoba, mabuk, memelihara WIL dan PIL, dan
bahkan juga berjudi.
Satu ajaran prilaku yang
ditanamkan oleh orangtua kita dari dahulu hingga sekarang adalah jangan
sekali-kali buang sampah di sembarang tempat, dan bahkan untuk kencing pun kita
diharapkan untuk meminta ijin dengan menyebut satu atau dua patah kata
permohonan ijin. Begitu santunnya orang tua kita ketika memandang interaksi
mereka dengan lingkungan, sehingga terkesan tidak enak bila prilaku mereka
dapat merugikan pihak lain. Demikian pula sebaliknya, ada harapan bahwa setiap
orang akan berprilaku baik kepada mereka seperti yang mereka lakukan pada orang
lain. Ini adalah sebuah contoh dari pendidikan budi pekerti yang saat ini sudah
mulai memudar.
Dari pendidikan budi pekerti
kita diajarkan untuk tidak menjadi beban bagi masyarakat dgn membuat masyarakat
di lingkungan kita menjadi tidak nyaman. Hal ini berarti begitu pentingnya bagi
kita melihat dari sisi kepentingan pihak lain. Kadangkala hal inilah yang
seringkali dilupakan. Banyak yang lebih mementingkan egonya masing-masing
ketika berinteraksi dengan yang lainnya, seolah-olah hidup sendiri dan yang
lainnya ngontrak. Seolah-olah bisa mengatur dan tak mau diatur. Seolah-olah
hanya orang lain saja yang bergantung pada kita. Sejalan dengan perkembangan
waktu semakin banyak fenomena ketidaksantunan seringkali kita temui dalam
kehidupan sehari-hari. Yidak banyak lagi yang menghargai orang tua dan mau mendengarkan
pihak lain.
Fenomena ketidaksantunan
lainnya banyak kita temui secara kasat
mata dalam masyarakat luas seperti contohnya para pengendara kendaraan yang
seenaknya melawan arus, sementara polisi hanya bisa “nyengir” melihatnya.
Keengganan para guru untuk memukul tangan siswa akibat kenakalannya, lebih karena khawatir dianggap melakukan
penyiksaan. Budaya serobot di jalan, parkir disembarang tempat dan bahkan banyak
pejabat tanpa malunya memamerkan
kekayaan yang jelas-jelas tidak sesuai dengan pendapatannya.
Dalam konteks makro,
bentuk-bentuk ketidaksantunan juga diperlihatkan oleh para pejabat kita. Tidak
sedikit dukungan-dukungan yang diberikan oleh tokoh politik terhadap tersangka
korupsi dengan melakukan kunjungan silaturahmi ke penjara, dengan alasan untuk
memberikan perhatian terhadap rekan yang ditimpa kesusahan. Disamping itu, pencabulan
yang dilakukan oleh beberapa guru terhadap anak didiknya justru membuat kita
sangat heran dan cenderung tidak mampu menarik sebuah argumentasi yang logik dari peristiwa tersebut kecuali
menyeringai dengan wujud kemarahan. Contoh lain yang paling miris adalah
pongahnya Hakim Agung MA sebagai garda terakhir penegakan keadilan dalam
memalsukan putusanya dan berkongkalikong dengan para penjahat.
Pada dasarnya budi pekerti
membutuhkan sebuah contoh. Budi pekerti bukanlah semacam ‘kentut’ yang tak terlihat
bentuknya tapi terasa baunya. Contoh atau role
model akan memudahkan kita dalam mengkonsepkan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan budi pekerti itu sendiri. Kita akan lebih mudah dalam
memaknakan kata-kata jujur dan kejujuran, adil dan keadilan, disiplin dan
kedisiplinan, kerja keras dan segudang kata-kata yang dapat menyombolkan spirit
budi pekerti tersebut. Bisa dibayangkan bila semua penegak hukum bertindak
profesional, jujur, kompeten dan tidak korup, tapi tidak jargon semata dan
benar-benar dibuktikan secara real dilapangan. Bisa dibayangkan bila presiden
dapat bersikap tegas terhadap para koruptor, menjadi contoh dalam penegakan
hukum, dan menjadi pejuang hak asasi manusia dalam menentang diskriminasi
sosial, dan tidak hanya sekedar berwacana saja. Tentunya hasilnya akan berbeda.
Bisa dibayangkan kalau semua aparatur negara bisa bergerak secara profesional dan
dapat memberikan pelayanan pada masyarakat dengan penuh pengabdian. Bangsa ini
akan menjadi bangsa yang besar.
Begitu mudahnya kita
mengikuti rambu-rambu lalu lintas ketika kita berada di negeri orang, dan disisi
lain begitu mudahnya kita mengabaikannya ketika berada di negeri sendiri,
menunjukkan bahwa spirit kesantunan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Tapi
bagaimanakah kita mengubahnya? Pertanyaan ini selalu didengung-dengungkan, tapi
tak banyak yang berinisiatif untuk mencarikan jawabannya. Apakah dibutuhkan
musuh bersama untuk dapat menyatukan spirit kesantunan, ataukah kita perlu
melakukan sebuah revolusi sosial seperti halnya yang dilakukan oleh China
ketika memerangi korupsi yang tumbuh dikalangan birokratnya. Ataukah kita hanya
butuh seorang pimpinan karismatik yang sederhana bak seorang Kalki Avatar atau
seorang ratu adil untuk dapat mengubah mindset masyarakat untuk memiliki
kesantunan sosial yang dapat dicontoh disetiap lapisan masyarakat.
Kadangkala ada harapan untuk mengubah
mindset bahwa kentut bukanlah sebuah aib, kentut adalah suatu yang mahal
harganya, bak suatu keadaan dimana seorang pasien yg habis dioperasi untuk
ditunggu apakah sudah bisa kentut atau tidak untuk menyatakan kesembuhannya...
untuk itu bisakah kentut diubah menjadi harum bak pengharum ruangan yang
beraroma harum sesuai dengan keinginan penghuninya.... ataukah kita punya cara
lain agar kentut dapat diterima oleh semua orang sebagai sebuah kewajaran dan
bukannya sebuah olok-olok pertemanan... semasih kita selalu menganggap bahwa
apapun yang berasal dari lubang pantat sebagai sebuah aib tentunya hal ini
menjadi suatu yang tak mudah untuk dimaknakan sebagai sebuah kesantunan.... dan
untuk menjawabnya dibutuhkan contoh berupa gagasan besar dan dilakukan oleh
orang yang tepat... dan bersumber dari lubuk hati yang terdalam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar