Our lives are a
sum total of the choices we have made.
~ Dr Wayne Dyer
~ Dr Wayne Dyer
Berusaha mencapai bintang, mungkin menjadi tagline yang tak asing bagi karyawan sebuah
perusahaan besar di Jakarta. Mencapai bintang merupakan sebuah perumpamaan yang
ingin ditanamkan dan juga merupakan
sebuah spirit positif yang memprovokasi
setiap elemen karyawan untuk memiliki angan-angan bisa menggapai dan menjadi
“bintang”. Tapi akhir-akhir ini kata bintang cenderung bukanlah menjadi suatu
yang positif. Bintang selalu dilekatkan pada keberhasilan fisik berupa
kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran atau mengutip bahasa sosio politik upaya mencapai triangle
“gold, gospel dan glory”.
Dalam keseharian kita, kita sering mendengar
istilah-istilah yang mengunakan kata bintang, seperti bintang sinetron, bintang
film, bintang iklan, bintang idola, dan bahkan bintang yang melambangkan jenjang kepangkatan seperti
halnya Jenderal ber ‘bintang”...... semuanya diartikan sebagai gambaran sebuah
kesuksesan. Kata-kata bintang saat ini sering dikaitkan dengan pribadi-pribadi
yang berhasil dalam menjalani posisi kariernya.
Untuk mencapai bintang tentunya bukanlah proses yang
mudah, bukanlah proses sekedip mata ataupun secepat membalikkan tangan.
Dibutuhkan usaha yang komprehensif dan juga energi yang cukup besar. Lazim
dalam suku China kita kenal istilah “tiga H” sebagai bagian dari upaya mencapai bintang. “H” yang pertama
adalah Hongsui, atau lebih dikenal
dengan peruntungan berdasarkan hal-hal metafisik diluar diri manusia seperti tata
letak berdasarkan arah mata angin, lokasi ketinggian, waktu, ukuran dan juga
hal-hal kebendaan lainnya. Ternyata selain Hongsui dibutuhkan juga “H” kedua
yaitu Hokie. Hokie lebih dikenal sebagai wujud peruntungan yang didasarkan pada
unsur manusianya baik itu karena bawaan lahir ataupun vibrasi oleh karena pengaruh
hokie kelompok. Kedua “H” tersebut kadangkala dipercaya dapat membantu
memberikan peruntungan bisnis untuk mencapai bintang. Tapi akhir-akhir ini
Tuhan mungkin dihadapkan oleh suatu kondisi
kebingungan dan dilema, karena semua umatNya mengharapkan peruntungan
berdasarkan Hongsui dan Hokie nya. Ibarat sebuah pertandingan
sepak bola antar negara, semua penduduk mengharapkan dan berdoa agar teamnya
menang. Akhirnya Tuhan menciptakan “H” terakhir sebagai sebuah ujian. “H” ketiga
adalah Hopeng atau dikenal dengan
nama lain “uang”. Ternyata uang benar-benar menjadi batu ujian bagi umatNya.
Uang adalah sesuatu hal yang selalu terbayang ketika kita
berbicara kekuasaan, ketenaran dan kekayaan. Uang adalah alat tukar yang
kadangkala mengalahkan kesederhanaan dan integritas pemegangnya. Uang
kadangkala menjadi segalanya. Banyaknya uang menjadi ukuran keberhasilan untuk
mencapai Bintang. Oleh karenanya, banyak yang berlomba-lomba untuk memperoleh
uang. Dengan cara apapun ditempuh untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Dan bahkan ada yang mengunakan uang untuk mencari uang.
Ternyata sangat sedikit dari umat manusia yang berhasil
melewati batu ujian tersebut. Termasuk juga para “bintang” yang kita kenal,
sudah banyak yang ternoda oleh uang, terseret dalam kasus baik itu kasus hukum
maupun moral, oleh karena ingin mendapatkan uang ataupun ingin
menghambur-hamburkan uang. Kondisi ini membuat pandangan masyarakat tentang
bintang yang seharusnya terang benderang menjadi memudar. Tak sedikit artis-artis
yang terlibat perselingkuhan, kawin cerai,
hingga artis-artis yang duduk dalam lingkaran kekuasaan terjerat oleh
korupsi yang sangat besar. Ternyata hopeng adalah batu ujian yang cukup berat
bagi umat manusia.
Menyitir syair sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Akhmad
Albar, “lagi lagi uang, o u o lagi lagi uang”, menjadi sebuah sindiran
bagaimana dashyatnya kekuatan uang di
Negara kita ini. Banyak tokoh yang terjerembab oleh kekuasaan uang, bahkan para
penegak hukum yang mengaku sebagai sebagai Wakil Tuhan dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan pun tak lulus dari Ujian Tuhan. Hakim, Polisi dan Jaksa,
yang dikenal sebagai tiga serangkai penegakan hukum, sekarang menjadi bulan-bulanan
kena kasus hukum yang bermuara masalah uang. Tidak hanya para penegak hukum,
bahkan uang “melibas” juga para Bintang di pemerintahan, di partai maupun di legislatif.
Mungkin tak asing ditelinga kita pembicaraan tentang kasus Jaksa Urip yang
tertangkap tangan ketika menerima suap dari Artalita Suryani, Hakim Agung Ahmad
Yamani yang mengubah dan mengurangi hukuman mati gembong narkoba, IrJend.
Polisi Joko Susilo yang terlibat mark-up alat simulasi di korlantas, Gayus
Tambunan yang terlibat dalam kasus mafia Pajak, Wa Ode Nurhayati yang terlibat
dalam kasus mafia anggaran, Nazarudin, Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng
yang terjerembab oleh kasus infrastruktur Hambalang dan Para Gubernur serta Bupati yang
terlibat dalam berbagai kasus-kasus korupsi, perselingkuhan dan penyalahgunaan
wewenang.
Ibarat membangun dengan susah payah menara
setinggi-tinggi tapi ambruk terkena badai sehari, itulah gambaran yang paling
tepat bagi para bintang tersebut. Banyak yang tertangkap oleh KPK, dihakimi
publik dan ada yang bersedia mengundurkan diri dari jabatannya oleh karena
tekanan opini masyarakat. Begitu
keroposnya fondasi yang dibangun ketika berfungsi sebagai “social climber”, bau
bangkai yang ingin ditutupi bertahun-tahun akhirnya tercium juga. Hopeng
sebagai bagian dari ujian Tuhan, ternyata telah berhasil mensintesa umatNya,
dan memilah seolah-olah siapa yang akan masuk sorga dan siapa yang akan masuk
neraka.
Ternyata ujian terbesar yang dihadapi oleh para bintang
bukan menghadapi kekuatan dari luar dirinya, tetapi dominan ketidakberdayaan
dalam menghadapi kekuatan dari dalam diri yang terbungkus sebagai nafsu pribadi.
Ternyata alam semesta dimana tempat berdiamnya para bintang kenyataannya tidak tak terbatas
seperti diibaratkan selama ini. Bintang beredar ternyata dibatasi oleh
batasan-batasan yang kasat mata berupa nilai-nilai pribadi normatif yang bila
dirusak oleh nafsu pribadi akan memberikan respon sebesar nafsu tersebut.
Kekuatan yang terikat oleh hukum Newton dimana besaran aksi akan berdampak pada
besaran reaksi yang sama. Atau dengan bahasa Teologi Hindu yang umum dikenal
dengan istilah Karma.
Ketika para bintang mengabaikan karmanya baik itu
Sancita, Prarabda dan Kryamana, maka ia mengabaikan hakekat keseimbangan Rwabhineda kehidupan berupa gelap dan terang, pria dan wanita, gembira dan
duka, hitam dan putih, sorga dan neraka dlsb. Melupakan rwabhineda kehidupan dengan
hanya mau menerima salah satu sudut pemahaman dan mengabaikan sudut lainnya
secara alamiah akan berdampak ke karmanya. Pendulum keseimbangan akan selalu
mencari sudut yang seimbang. Dan keseimbangan adalah tidak hanya awal penciptaan
alam semesta, tapi alam semesta dirawat dan dihancurkan pun dengan dasar
keseimbangan tersebut. Maka Dipujalah Engkau “Brahma, Wisnu dan Ciwa”, sebagai
simbol Trisakti Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Namaste.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar