Selasa, 25 Desember 2012

Bintang oh Bintang



Our lives are a sum total of the choices we have made.
~ Dr Wayne Dyer


Berusaha mencapai bintang, mungkin menjadi tagline yang tak asing bagi karyawan sebuah perusahaan besar di Jakarta. Mencapai bintang merupakan sebuah perumpamaan yang ingin ditanamkan  dan juga merupakan sebuah spirit positif  yang memprovokasi setiap elemen karyawan untuk memiliki angan-angan bisa menggapai dan menjadi “bintang”. Tapi akhir-akhir ini kata bintang cenderung bukanlah menjadi suatu yang positif. Bintang selalu dilekatkan pada keberhasilan fisik berupa kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran atau mengutip bahasa sosio politik upaya mencapai  triangle “gold, gospel dan glory”. 

Dalam keseharian kita, kita sering mendengar istilah-istilah yang mengunakan kata bintang, seperti bintang sinetron, bintang film, bintang iklan, bintang idola, dan bahkan bintang yang  melambangkan jenjang kepangkatan seperti halnya Jenderal ber ‘bintang”...... semuanya diartikan sebagai gambaran sebuah kesuksesan. Kata-kata bintang saat ini sering dikaitkan dengan pribadi-pribadi yang berhasil dalam menjalani posisi kariernya.

Untuk mencapai bintang tentunya bukanlah proses yang mudah, bukanlah proses sekedip mata ataupun secepat membalikkan tangan. Dibutuhkan usaha yang komprehensif dan juga energi yang cukup besar. Lazim dalam suku China kita kenal istilah “tiga H” sebagai bagian dari  upaya mencapai bintang. “H” yang pertama adalah Hongsui, atau lebih dikenal dengan peruntungan berdasarkan hal-hal metafisik diluar diri manusia seperti tata letak berdasarkan arah mata angin, lokasi ketinggian, waktu, ukuran dan juga hal-hal kebendaan lainnya. Ternyata selain Hongsui dibutuhkan juga “H” kedua yaitu Hokie. Hokie lebih dikenal sebagai wujud peruntungan yang didasarkan pada unsur manusianya baik itu karena bawaan lahir ataupun vibrasi oleh karena pengaruh hokie kelompok. Kedua “H” tersebut kadangkala dipercaya dapat membantu memberikan peruntungan bisnis untuk mencapai bintang. Tapi akhir-akhir ini Tuhan mungkin dihadapkan oleh suatu kondisi  kebingungan dan dilema, karena semua umatNya mengharapkan peruntungan berdasarkan Hongsui dan Hokie nya. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola antar negara, semua penduduk mengharapkan dan berdoa agar teamnya menang. Akhirnya Tuhan menciptakan “H” terakhir sebagai sebuah ujian. “H” ketiga adalah Hopeng atau dikenal dengan nama lain “uang”. Ternyata uang benar-benar menjadi batu ujian bagi umatNya. 

Uang adalah sesuatu hal yang selalu terbayang ketika kita berbicara kekuasaan, ketenaran dan kekayaan. Uang adalah alat tukar yang kadangkala mengalahkan kesederhanaan dan integritas pemegangnya. Uang kadangkala menjadi segalanya. Banyaknya uang menjadi ukuran keberhasilan untuk mencapai Bintang. Oleh karenanya, banyak yang berlomba-lomba untuk memperoleh uang. Dengan cara apapun ditempuh untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Dan bahkan ada yang mengunakan uang untuk mencari uang. 

Ternyata sangat sedikit dari umat manusia yang berhasil melewati batu ujian tersebut. Termasuk juga para “bintang” yang kita kenal, sudah banyak yang ternoda oleh uang, terseret dalam kasus baik itu kasus hukum maupun moral, oleh karena ingin mendapatkan uang ataupun ingin menghambur-hamburkan uang. Kondisi ini membuat pandangan masyarakat tentang bintang yang seharusnya terang benderang menjadi memudar. Tak sedikit artis-artis yang terlibat perselingkuhan, kawin cerai,  hingga artis-artis yang duduk dalam lingkaran kekuasaan terjerat oleh korupsi yang sangat besar. Ternyata hopeng adalah batu ujian yang cukup berat bagi umat manusia. 

Menyitir syair sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Akhmad Albar, “lagi lagi uang, o u o lagi lagi uang”, menjadi sebuah sindiran bagaimana  dashyatnya kekuatan uang di Negara kita ini. Banyak tokoh yang terjerembab oleh kekuasaan uang, bahkan para penegak hukum yang mengaku sebagai sebagai Wakil Tuhan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan pun tak lulus dari Ujian Tuhan. Hakim, Polisi dan Jaksa, yang dikenal sebagai tiga serangkai penegakan hukum, sekarang menjadi bulan-bulanan kena kasus hukum yang bermuara masalah uang. Tidak hanya para penegak hukum, bahkan uang “melibas” juga para Bintang di pemerintahan, di partai maupun di legislatif. Mungkin tak asing ditelinga kita pembicaraan tentang kasus Jaksa Urip yang tertangkap tangan ketika menerima suap dari Artalita Suryani, Hakim Agung Ahmad Yamani yang mengubah dan mengurangi hukuman mati gembong narkoba, IrJend. Polisi Joko Susilo yang terlibat mark-up alat simulasi di korlantas, Gayus Tambunan yang terlibat dalam kasus mafia Pajak, Wa Ode Nurhayati yang terlibat dalam kasus mafia anggaran, Nazarudin, Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng yang terjerembab oleh kasus infrastruktur Hambalang dan Para Gubernur serta Bupati yang terlibat dalam berbagai kasus-kasus korupsi, perselingkuhan dan penyalahgunaan wewenang.  

Ibarat membangun dengan susah payah menara setinggi-tinggi tapi ambruk terkena badai sehari, itulah gambaran yang paling tepat bagi para bintang tersebut. Banyak yang tertangkap oleh KPK, dihakimi publik dan ada yang bersedia mengundurkan diri dari jabatannya oleh karena tekanan opini masyarakat.  Begitu keroposnya fondasi yang dibangun ketika berfungsi sebagai “social climber”, bau bangkai yang ingin ditutupi bertahun-tahun akhirnya tercium juga. Hopeng sebagai bagian dari ujian Tuhan, ternyata telah berhasil mensintesa umatNya, dan memilah seolah-olah siapa yang akan masuk sorga dan siapa yang akan masuk neraka.   

Ternyata ujian terbesar yang dihadapi oleh para bintang bukan menghadapi kekuatan dari luar dirinya, tetapi dominan ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan dari dalam diri yang terbungkus sebagai nafsu pribadi. Ternyata alam semesta dimana tempat berdiamnya para bintang kenyataannya tidak tak terbatas seperti diibaratkan selama ini. Bintang beredar ternyata dibatasi oleh batasan-batasan yang kasat mata berupa nilai-nilai pribadi normatif yang bila dirusak oleh nafsu pribadi akan memberikan respon sebesar nafsu tersebut. Kekuatan yang terikat oleh hukum Newton dimana besaran aksi akan berdampak pada besaran reaksi yang sama. Atau dengan bahasa Teologi Hindu yang umum dikenal dengan istilah Karma

Ketika para bintang mengabaikan karmanya baik itu Sancita, Prarabda dan Kryamana, maka ia mengabaikan hakekat keseimbangan Rwabhineda kehidupan berupa gelap dan terang, pria dan wanita, gembira dan duka, hitam dan putih, sorga dan neraka dlsb. Melupakan rwabhineda kehidupan dengan hanya mau menerima salah satu sudut pemahaman dan mengabaikan sudut lainnya secara alamiah akan berdampak ke karmanya. Pendulum keseimbangan akan selalu mencari sudut yang seimbang. Dan keseimbangan adalah tidak hanya awal penciptaan alam semesta, tapi alam semesta dirawat dan dihancurkan pun dengan dasar keseimbangan tersebut. Maka Dipujalah Engkau “Brahma, Wisnu dan Ciwa”, sebagai simbol Trisakti Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Namaste.