Rabu, 22 Agustus 2012

Mudik.......


A life spent making mistakes is not only more honorable 
but more useful than a life spent in doing nothing.
~ George Bernard Shaw


Ada yang unik pada saat meeting pagi dilaksanakan pada minggu terakhir menjelang liburan lebaran. Tidak hanya waktu meeting yang sedikit lebih panjang oleh karena banyaknya materi menjelang liburan yang harus dibahas, namun ada satu pertanyaan yang selalu saya ulang setiap tahunnya, yaitu siapa sajakah karyawan yang akan mudik di liburan lebaran kali ini? Ekspresi pertama yang muncul adalah hampir sebagian besar mengangekat tangannya, dan sebagian hanya terdiam, ada yang tersenyum, ada yang sedikit cemberut, bahkan ada yg kelihatan tertarik untuk bercerita lebih lanjut.

Kenapa hal ini saya selalu lontarkan? Mudik adalah suatu event tahunan yang cukup menarik untuk diamati, walaupun kadangkala peristiwanya seolah-olah itu-itu  saja, namun bagi yang menjalaninya merupakan suatu yang dinanti-nantikan selama kurang lebih satu bulan lamanya berpuasa, dan bahkan banyak yang menunggu momen ini sebagai satu momen silaturahmi tahunan bagi keluarga mereka. Mereka memiliki dorongan untuk bersilaturahmi dan saking bermaaf-maafan dengan handai taulan, yang mungkin hanya bisa dilakukan melalui momen ini. Mungkin bisa menjadi sebuah pertanyaan yang  menarik mengapa mudik bisa menjadi suatu event yang begitu meriahnya, padahal kenyataannya kita bisa lakukan kapanpun bila kita memiliki waktu dan uang untuk menjalankannya, tanpa menunggu event lebaran pun kita bisa lakukan. Tapi berbekal pengalaman memang kadangkala susah dibandingkan kenikmatannya, antara pulang mudik saat lebaran dengan mudik saat-saat hari biasa. Walaupun sedikit lebih crowded dan melelahkan, mudik saat lebaran cenderung lebih dirasa berkesan. Adanya kerinduan yang sedikit berbeda nuansa ketika mereka menjalani proses mudik lebaran ini.

Pergerakan manusia secara masiv memang terjadi pada saat menjelang satu atau dua hari sebelum lebaran, dan untuk mencapai keinginan tersebut persiapannya tidaklah dilaksanakan satu hari atau dua hari saja. Mudik sudah menjadi akumulasi emosi semua orang dan setiap rekan saling mempengaruhi satu sama lain dengan ide mudiknya, yang kadangkala dapat mempengaruhi emosi yang tidak mudik untuk tiba-tiba mengambil keputusan untuk mudik. Banyak yang merasa sedih tidak dapat menikmati moment ini, oleh karena merasa tidak lagi memiliki “kampung halaman”, oleh karena tiadanya keluarga utama yg harus dikunjungi, atau bahkan oleh karena jadwal ritual kunjungan yang dilakukan secara bergiliran. 

Persiapan mudikpun dirancang sedemikian rupa, dari perencanaan awal dalam memutuskan apakah tahun ini akan mudik atau tidak, yang kadangkala sewaktu2 bisa berubah menjelang hari H-nya, transportasi apa yang akan digunakan, biaya yang akan dihabiskan, daerah yang akan dikunjungi, pengaturan waktu perjalanan hingga persiapan fisik ditengah-tengah suasana masih berpuasa. Semuanya tentunya dilahirkan oleh proses perencanaan yang tak sederhana. Mengapa kita dapat mengatakan tak sederhana? Tak bisa dipungkiri bahwa energi yang dibutuhkan adalah sangat besar, termasuk juga “ransum” dana yang harus disiapkan. Ditengah-tengah padatnya lalu lintas oleh karena pergerakan yang serentak dari moda transportasi dengan tujuan yang sama, menyebabkan waktu tempuh bisa dua hingga tiga kali dari waktu biasanya, namun hal ini tidaklah menyurutkan para pemudik untuk menjalaninya. Ternyata keinginan berlebaran di kampung halaman lebih besar daripada keletihan-keletihan yang dirasakan. 

Fenomena mudik ini bagi bangsa ini bukanlah fenomena yang dapat dimengerti secara sederhana dan mudah, karena hampir sebagian besar energi anak bangsa tercurah dalam mendukung kegiatan ini. Bagaimana polisi secara rutin menyiapkan “operasi ketupat” dengan melibatkan puluhan ribu personilnya guna mengamankan event mudik ini setiap tahun tanpa henti. Bagaimana stakeholder perhubungan dalam menyiapkan moda transportasi darat, laut dan udara yang aman dan nyaman, serta meyakinkan konsumen akan terangkut semua, dan menjamin tidak melonjaknya tiket angkutan secara drastis karena alasan aji mumpung. Bagaimana pihak jasa marga, melakukan perbaikan-perbaikan jalan, walaupun tambal sulam, guna meyakinkan pemudik bahwa jalan yang dilaluinya terasa mulus dan tak bergelombang. Bagaimana Pelaku-pelaku bisnis otomotif, perbankan, dan produk-product konsumen, berlomba-lomba menyediakan fasilitas pendukung dan promo produk sepanjang rute perjalanan, dan terpaksa melemburkan pekerjanya agar bersedia bekerja dan ditempatkan disepanjang rute perjalanan yang tentunya disertai insentif tambahan diluar uang lembur umumnya. Bagaimana bengkel dan penyewaan kendaraan menjadi laris manis, karena para pemudik lebih memilih menyewa kendaraan agar lebih simple dan mobile ketika mengunjungi sanak saudaranya. Bagaimana PLN dan Pertamina serta perusahaan penyedia bahan bakar lainnya menjamin pasokan listrik dan bensin/premium tak akan tersendat guna mendukung perhelatan disertai tanpa malu-malu sedikit menaikkan harga premium dengan memanfaatkan momentum kebutuhan. Bagaimana media informasi cetak maupun elektronik secara gencar mengumumkan perhelatan ini keseluruh khalayak dengan menyebar wartawannya sepanjang titik perjalanan, sekaligus mencari berita-berita unik untuk menggandakan oplah. Bagaimana ibu-bu rumah tangga kerepotan secara mendadak, oleh karena kehilangan pembantunya dan harus menjadi “oshin” untuk periode waktu tertentu. Bagaimana para penyedia pembantu musiman menaikkan tarif pembantu infal, dengan memanfaatkan momentum kekosongan tenaga kerja untuk rumah tangga yang sangat bergantung pada pembantunya. Bagaimana obyek-obyek wisata disiapkan dan disulap secara mendadak  guna mengantisipasi pengunjung yang haus akan hiburan.  Bagaimana birokrasi pemerintah, dengan tanpa segan-segannya secara sedikit terselubung melakukan sidak keberbagai instansi perusahaan disertai emebl-embel kata-kata sakral “THR” dari perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tambahan (ssstt... hal ini sdh menjadi rahasia umum....yg tak satupun mau dijadikan saksi untuk membuktikannya).  Bagaimana para preman yang tergabung dalam ormas-ormas, tersenyum dan meniru “hal-hal baik”  yang dilakukan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, dengan alasan biaya keamanan. Dan yang terakhir, betapa pusingnya pemerintah melihat angka kematian akibat korban kecelakaan yang cenderung ratusan jiwa setiap tahunnya.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa fenomena mudik ini telah menggerakkan roda perekonomian Indonesia secara signifikan. Berapa puluh triliun uang yang beredar dimasyarakat saat itu dari transaksi yang dilakukan pemudik, berapa kenaikan inflasi sebagai akibat semua pelaku ekonomi memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan dengan menaikkan harga produk dan layanan. Berapa pertumbuhan tenaga kerja musiman yang  terdorong untuk menjadi tenaga infal ataupun menjadi pedagang dadakan. Berapa triliun rupiah kiriman uang TKI ke daerah-daerah asalnya, sebagai pengganti ketidakhadiran mereka di rumah.

Walaupun kompleksnya masalah mudik ini, para pemudik hingga saat ini  masih merasa nyaman-nyaman saja dan menikmatinya sebagai bagian dari  berkah tahunan yg tak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi masalah  sekarang adalah tinggal mengontrol bagaimana efek baliknya saja, dimana uang umumnya sudah mulai menipis, eforia lebaran telah terlewati, banyaknya rekan-rekan yang tak mudik mengharapkan oleh-oleh, waktu penggajian masih jauh, rumah yang ditinggalkan sedikit berantakan, adanya hukuman yang disiapkan oleh institusi perusahaan atau pemerintah bagi karyawan yang mangkir masuk kerja, dan tak kalah serunya adalah berapa sanak keluarga yang dibawa dari daerah ke ibukota dengan harapan secara instant memperoleh pekerjaan, dan dapat berharap suatu saat bisa petantang petenteng seperti keluarga mereka yang telah berhasil, walaupun mudik dengan mobil sewaan dan terlihat seperi orang yg memiliki kemapanan secara ekonomi dan sosial dimata keluarganya di daerah. Dan bagaimana pemda selalu mengadakan  razia penduduk bagi pendatang musiman, untuk memperkecil pendatang yang tidak memiliki keterampilan, dan meminimasi tingkat kriminalitas kedepannya .

Namun satu hal yang bisa diambil hikmahnya dari fenomena mudik ini adalah kekuatan dan dorongan silaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan adalah sumber kekuatan yang maha dasyat yang mampu mengalahkan rintihan-rintihan keletihan, menipisnya keuangan, gambaran kesusahan dan penderitaan yang akan muncul selanjutnya, serta kemungkinan ketidakjelasan masa depan. Semoga para pemudik dapat memanfaatkan waktu mudiknya dengan sebaik-baiknya untuk tujuan membangun silaturahmi tersebut, dengan tetap berharap di tahun depan dapat melaksanakan kegiatan tersebut lagi secara berkecukupan.

Minggu, 12 Agustus 2012

Penjaga Gawang .............

The greater danger for most of us lies not in setting our aim too high and falling short;
 but in setting our aim too low, and achieving our mark.
~ Michelangelo

Penjaga gawang adalah istilah umum yang sering kita temui bila kita berbicara tentang sepakbola, olahraga terpopuler di dunia. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk berdiri didepan gawang dan dibawah mistar, serta yang diberi kelebihan dapat memegang bola dikala sedang dimainkan kecuali keluar dari garis batas yang telah ditentukan. Perannya tentunya tidak ringan yaitu sebagai orang terakhir yang bertanggung jawab untuk mengamankan gawang dari kebobolan.
Tapi akhir-akhir ini tanpa disadari banyak dari kita menyebut dirinya sebagai seorang penjaga gawang, dan hampir semuanya mengaku berperan sebagai penjaga gawang untuk menunjukkan diri bahwa masing-masing juga memegang peran yang tidak ringan dalam sebuah peran keorganisasian. Sah-sah saja hal ini ini diyakini, mengingat dalam pertandingan sepabola pun pada dasarnya semua peran adalah penjaga gawang. Apakah dia seorang penyerang, pemain sayap, pemain tengah, maupun gelandang bertahan, dan kadangkala pelatih diluar garis lapangan pun berhak menyandang peran sebagai penjaga gawang. Tapi apapun argumentasinya, dalam konotasi yang sebenarnya dan secara peran jabatan, penjaga gawang adalah tetap satu dalam sebuah permainan, yang lainnya adalah membantu penjaga gawang agar gawang tidak kebobolan.
Seperti layaknya sebuah permainan bola, keberadaan  penjaga gawang adalah agar pemain lain dapat fokus melakukan penyerangan. Penyerangan yang bertujuan untuk mencetak keunggulan dengan menjaringkan sebanyak-banyaknya bola di gawang lawan. Dapat dibayangkan bila pemain lainnya hanya fokus pada mengamankan gawangnya sendiri tanpa upaya membangun serangan, ini yang dikatakan sebagai kondisi bertahan. Bertahan juga merupakan sebuah strategi yang sering dipergunakan ketika tim telah banyak memasukkan bola kekandang lawan, atau juga menghindarkan kemasukan yang lebih besar di gawang sendiri. Tapi kembali itu hanyalah sebuah strategi menuju kemenangan atau menghindarkan diri dari kekalahan telak. Sebenarnya, semakin berfungsi peran anggota tim yang lainnya tentunya semakin ringan tugas penjaga gawang.
Akhir-akhir ini juga kita banyak temukan bahwa penjaga gawang juga diberi peran sebagai kapten tim, sebuah jabatan kepemimpinan dengan hirarki tertinggi di tengah-tengah lapangan, dengan salah satu pertimbangan bahwa penjaga gawang adalah orang yang secara posisi memiliki pandangan yang terluas, dapat melihat kelemahan-kelemahan dasar timnya dari segala sudut dan dari sudut yang lebih luas dibandingkan rekan2nya. Penjaga gawang adalah orang yang berada pada garis terbelakang, dan secara kodrati tidak diberi peran untuk melihat kebelakang. Ia harus selalu melihat kesamping dan kedepan. Dia juga mengarahkan kearah mana bola akan diberikan setelah dia menangkapnya, menendang atau melemparnya.
Bila kita identikkan dengan organisasi modern, masing-masing posisi diyakini memiliki perannya masing-masing, dari piramida hirarki tertinggi hingga terendah memiliki tanggung jawab atas keberadaanya dalam organisasi. Secara ideal diyakini tak satupun yang berpangku tangan sementara yang lainnya bekerja untuk menjaga gawang. Walaupun semua memiliki kewajiban masing-masing, tetapi menjaga gawang secara bersama-sama haruslah menjadi kewajiban bersama.
Bagaimanakah kenyataan dalam prakteknya? Tanpa kita sadari bahwa banyak fungsi dalam organisasi masih bergerak secara sendiri-sendiri. Masing-masing membentuk cilo-cilo, yang seolah-olah tak saling berhubungan. Masing-masing memegang perannya bak kacamata kuda, dengan mengabaikan keberadaan fungsi lain. Dalam kerangka berfikir systemik dirasa hal ini adalah kurang tepat, mengingat pencapaian sasaran organisasi secara total, tak mungkin dapat dicapai oleh elemen-elemen yang bergerak secara parsial. Atau dengan kata lain, efektivitas pencapaian sasaran akan tak sempurna bila tak didukung oleh sistem supply chain yang memadai.
Bila supply chain tak berjalan normal, akan membuat para penjaga gawang akan kesusahan untuk menjaga gawangnya dari tekanan-tekanan baik yang terjadi dari internal maupun eksternal. Contoh konkret dari hal ini adalah peran manajemen lini sebagai HR manager. Tak banyak yang menyadari peran tersebut dan bahkan tidak sedikit yang mengabaikannya. Akan menjadi suatu beban besar ketika para atasan menempatkan aspek SDM, sebagai bagian dari tugas HR dan bukan tugas mereka. HR sebagai penjaga gawang organisasi membutuhkan peran serta aggota organisasi lainnya untuk terlibat membantu agar penjaga gawang dapat bekerja dengan baik, demikian juga sebaliknya.
Tidak hanya berbagi peran, manajemen lini juga dalam bekerja harus fokus dalam dua hal mendasar yaitu managing job dan managing people. Semakin tinggi hirarki organisasi maka semakin besar fokus perhatian ditujukan kepada pengelolaan manusia daripada pekerjaannya sendiri. Semakin banyak waktu yang dipergunakan untuk berkomunikasi dari pada menjalankan tugas-tugas dalam rangka fungsinya masing-masing. Termasuk dalam proses ini adalah dalam hal penentuan target-target organisasi yang harus dicapai oleh bawahannya. Ada kesalahan mendasar yang sering dilakukan dalam penentuan target. Banyak atasan cenderung konservatif dengan menggunakan strategi bertahan melalui penetapan target-target yang kurang menantang dengan dasar kekhawatiran bahwa target tersebut tak tercapai, sehingga jalan satu-satunya adalah menempatkan target dalam posisi aman. Kesalahan yang terjadi didasarkan pada kondisi bahwa, adalah lebih fatal bila kita memberikan target terlalu rendah dan karyawan dapat mencapainya dibandingkan dengan menetapkan target yang spektakuler karyawan tak mampu mencapainya. Keunggulan dari penetapan target yang spektakuler bertujuan untuk memunculkan dorongan untuk mengekplorasi kemampauan karyawan secara lebih maksimal.
Sejalan dengan perkembangan waktu, pengelolaan SDM tidak lagi bertumpu hanya hal-hal yang sifatnya operasional saja, tetapi HR juga mulai merambah pada aspek-aspek pengkajian terhadap key position dalam organisasi. Banyak muncul konsep-konsep baru yang mengalami proses evolusi secara intensif. Konsep Performance based , telah berkembang menjadi konsep kompetensi based, dan sekarang tak mungkin kita abaikan adalah munculnya konsep Talent based secara masiv dilingkungan perusahaan. Tanpa bermaksud untuk merendahkan pergerakan tersebut, diyakini atau tidak, tak banyak perusahaan mampu menjabarkan semua konsep  tersebut dalam operasi sehari-hari mereka. Banyak yang hanya menjalankan konsep tersebut secara sederhana, tapi telah berusaha bergerak ke konsep lainnya.
Apapun konsep pengembangan SDM yang dipergunakan baik itu performance based, kompetensi based ataupun talent based, hendaknya diterapkan selaras dengan pencapaian sasaran organisasi. HRD bukanlah menara gading yang berusaha menciptakan gagasan-gagasan pengembangan SDM yang dalam prakteknya tak mudah untuk dilakukan dan bahkan tak mudah dapat dicerna oleh semua elemen organisasi. HRD harus menciptakan program yang benar-benar dibutuhkan oleh setiap elemen organisasi dalam mencapai sasaran  secara keseluruhan.

Karyawan kedepannya akan tumbuh menjadi karyawan yang lebih terdidik dan  terpelajar, dan bahkan akan tumbuh menjadi karyawan pembelajar. Bagaimana organisasi dapat mengimbangi kondisi tersebut, tergantung bagaimana setiap organisasi memandang fungsi mereka masing-masing. Apakah mereka akan bergerak secara cylo-cylo ataukah akan membantu penjaga gawang untuk tidak kebobolan. Bila pilihan untuk menjadi bisnis partner yang dipilih, tentunya para penjaga gawang akan sedikit lebih tenang, dan dapat lebih merenung program-program strategis apa lagi yang bisa di ciptakan ke depannya.