A life
spent making mistakes is not only more honorable
but more useful than a life
spent in doing nothing.
~ George Bernard Shaw
~ George Bernard Shaw
Ada yang unik
pada saat meeting pagi dilaksanakan pada minggu terakhir menjelang liburan
lebaran. Tidak hanya waktu meeting yang sedikit lebih panjang oleh karena
banyaknya materi menjelang liburan yang harus dibahas, namun ada satu
pertanyaan yang selalu saya ulang setiap tahunnya, yaitu siapa sajakah karyawan
yang akan mudik di liburan lebaran kali ini? Ekspresi pertama yang muncul
adalah hampir sebagian besar mengangekat tangannya, dan sebagian hanya terdiam,
ada yang tersenyum, ada yang sedikit cemberut, bahkan ada yg kelihatan tertarik
untuk bercerita lebih lanjut.
Kenapa hal ini
saya selalu lontarkan? Mudik adalah suatu event tahunan yang cukup menarik
untuk diamati, walaupun kadangkala peristiwanya seolah-olah itu-itu saja, namun bagi yang menjalaninya merupakan
suatu yang dinanti-nantikan selama kurang lebih satu bulan lamanya berpuasa,
dan bahkan banyak yang menunggu momen ini sebagai satu momen silaturahmi
tahunan bagi keluarga mereka. Mereka memiliki dorongan untuk bersilaturahmi dan saking bermaaf-maafan dengan handai taulan, yang mungkin hanya bisa dilakukan melalui momen ini. Mungkin bisa menjadi sebuah pertanyaan yang menarik mengapa mudik bisa menjadi suatu event
yang begitu meriahnya, padahal kenyataannya kita bisa lakukan kapanpun bila
kita memiliki waktu dan uang untuk menjalankannya, tanpa menunggu event lebaran
pun kita bisa lakukan. Tapi berbekal pengalaman memang kadangkala susah
dibandingkan kenikmatannya, antara pulang mudik saat lebaran dengan mudik
saat-saat hari biasa. Walaupun sedikit lebih crowded dan melelahkan, mudik saat
lebaran cenderung lebih dirasa berkesan. Adanya kerinduan yang sedikit berbeda nuansa ketika mereka menjalani proses mudik lebaran ini.
Pergerakan
manusia secara masiv memang terjadi pada saat menjelang satu atau dua hari
sebelum lebaran, dan untuk mencapai keinginan tersebut persiapannya tidaklah
dilaksanakan satu hari atau dua hari saja. Mudik sudah menjadi akumulasi emosi
semua orang dan setiap rekan saling mempengaruhi satu sama lain dengan ide
mudiknya, yang kadangkala dapat mempengaruhi emosi yang tidak mudik untuk
tiba-tiba mengambil keputusan untuk mudik. Banyak yang merasa sedih tidak dapat
menikmati moment ini, oleh karena merasa tidak lagi memiliki “kampung halaman”,
oleh karena tiadanya keluarga utama yg harus dikunjungi, atau bahkan oleh
karena jadwal ritual kunjungan yang dilakukan secara bergiliran.
Persiapan
mudikpun dirancang sedemikian rupa, dari perencanaan awal dalam memutuskan
apakah tahun ini akan mudik atau tidak, yang kadangkala sewaktu2 bisa berubah
menjelang hari H-nya, transportasi apa yang akan digunakan, biaya yang akan
dihabiskan, daerah yang akan dikunjungi, pengaturan waktu perjalanan hingga
persiapan fisik ditengah-tengah suasana masih berpuasa. Semuanya tentunya
dilahirkan oleh proses perencanaan yang tak sederhana. Mengapa kita dapat
mengatakan tak sederhana? Tak bisa dipungkiri bahwa energi yang dibutuhkan
adalah sangat besar, termasuk juga “ransum” dana yang harus disiapkan.
Ditengah-tengah padatnya lalu lintas oleh karena pergerakan yang serentak dari
moda transportasi dengan tujuan yang sama, menyebabkan waktu tempuh bisa dua
hingga tiga kali dari waktu biasanya, namun hal ini tidaklah menyurutkan para
pemudik untuk menjalaninya. Ternyata keinginan berlebaran di kampung halaman
lebih besar daripada keletihan-keletihan yang dirasakan.
Fenomena mudik
ini bagi bangsa ini bukanlah fenomena yang dapat dimengerti secara sederhana
dan mudah, karena hampir sebagian besar energi anak bangsa tercurah dalam
mendukung kegiatan ini. Bagaimana polisi secara rutin menyiapkan “operasi
ketupat” dengan melibatkan puluhan ribu personilnya guna mengamankan event
mudik ini setiap tahun tanpa henti. Bagaimana stakeholder perhubungan dalam
menyiapkan moda transportasi darat, laut dan udara yang aman dan nyaman, serta
meyakinkan konsumen akan terangkut semua, dan menjamin tidak melonjaknya tiket
angkutan secara drastis karena alasan aji mumpung. Bagaimana pihak jasa marga,
melakukan perbaikan-perbaikan jalan, walaupun tambal sulam, guna meyakinkan
pemudik bahwa jalan yang dilaluinya terasa mulus dan tak bergelombang.
Bagaimana Pelaku-pelaku bisnis otomotif, perbankan, dan produk-product konsumen,
berlomba-lomba menyediakan fasilitas pendukung dan promo produk sepanjang rute
perjalanan, dan terpaksa melemburkan pekerjanya agar bersedia bekerja dan
ditempatkan disepanjang rute perjalanan yang tentunya disertai insentif
tambahan diluar uang lembur umumnya. Bagaimana bengkel dan penyewaan kendaraan
menjadi laris manis, karena para pemudik lebih memilih menyewa kendaraan agar
lebih simple dan mobile ketika mengunjungi sanak saudaranya. Bagaimana PLN dan
Pertamina serta perusahaan penyedia bahan bakar lainnya menjamin pasokan
listrik dan bensin/premium tak akan tersendat guna mendukung perhelatan disertai
tanpa malu-malu sedikit menaikkan harga premium dengan memanfaatkan momentum
kebutuhan. Bagaimana media informasi cetak maupun elektronik secara gencar mengumumkan
perhelatan ini keseluruh khalayak dengan menyebar wartawannya sepanjang titik
perjalanan, sekaligus mencari berita-berita unik untuk menggandakan oplah.
Bagaimana ibu-bu rumah tangga kerepotan secara mendadak, oleh karena kehilangan
pembantunya dan harus menjadi “oshin” untuk periode waktu tertentu. Bagaimana
para penyedia pembantu musiman menaikkan tarif pembantu infal, dengan
memanfaatkan momentum kekosongan tenaga kerja untuk rumah tangga yang sangat
bergantung pada pembantunya. Bagaimana obyek-obyek wisata disiapkan dan disulap
secara mendadak guna mengantisipasi
pengunjung yang haus akan hiburan.
Bagaimana birokrasi pemerintah, dengan tanpa segan-segannya secara
sedikit terselubung melakukan sidak keberbagai instansi perusahaan disertai emebl-embel
kata-kata sakral “THR” dari perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tambahan
(ssstt... hal ini sdh menjadi rahasia umum....yg tak satupun mau dijadikan
saksi untuk membuktikannya). Bagaimana
para preman yang tergabung dalam ormas-ormas, tersenyum dan meniru “hal-hal
baik” yang dilakukan birokrasi
pemerintah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, dengan alasan biaya
keamanan. Dan yang terakhir, betapa pusingnya pemerintah melihat angka kematian
akibat korban kecelakaan yang cenderung ratusan jiwa setiap tahunnya.
Tidak bisa kita
pungkiri bahwa fenomena mudik ini telah menggerakkan roda perekonomian
Indonesia secara signifikan. Berapa puluh triliun uang yang beredar
dimasyarakat saat itu dari transaksi yang dilakukan pemudik, berapa kenaikan inflasi
sebagai akibat semua pelaku ekonomi memanfaatkan momen ini untuk mencari
keuntungan dengan menaikkan harga produk dan layanan. Berapa pertumbuhan tenaga
kerja musiman yang terdorong untuk
menjadi tenaga infal ataupun menjadi pedagang dadakan. Berapa triliun rupiah
kiriman uang TKI ke daerah-daerah asalnya, sebagai pengganti ketidakhadiran
mereka di rumah.
Walaupun
kompleksnya masalah mudik ini, para pemudik hingga saat ini masih merasa nyaman-nyaman saja dan
menikmatinya sebagai bagian dari berkah tahunan
yg tak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi masalah sekarang adalah tinggal mengontrol bagaimana efek
baliknya saja, dimana uang umumnya sudah mulai menipis, eforia lebaran telah
terlewati, banyaknya rekan-rekan yang tak mudik mengharapkan oleh-oleh, waktu
penggajian masih jauh, rumah yang ditinggalkan sedikit berantakan, adanya hukuman
yang disiapkan oleh institusi perusahaan atau pemerintah bagi karyawan yang
mangkir masuk kerja, dan tak kalah serunya adalah berapa sanak keluarga yang
dibawa dari daerah ke ibukota dengan harapan secara instant memperoleh
pekerjaan, dan dapat berharap suatu saat bisa petantang petenteng seperti
keluarga mereka yang telah berhasil, walaupun mudik dengan mobil sewaan dan
terlihat seperi orang yg memiliki kemapanan secara ekonomi dan sosial dimata
keluarganya di daerah. Dan bagaimana pemda selalu mengadakan razia penduduk bagi pendatang musiman, untuk
memperkecil pendatang yang tidak memiliki keterampilan, dan meminimasi tingkat
kriminalitas kedepannya .
Namun satu hal
yang bisa diambil hikmahnya dari fenomena mudik ini adalah kekuatan dan
dorongan silaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan adalah sumber
kekuatan yang maha dasyat yang mampu mengalahkan rintihan-rintihan keletihan,
menipisnya keuangan, gambaran kesusahan dan penderitaan yang akan muncul
selanjutnya, serta kemungkinan ketidakjelasan masa depan. Semoga para pemudik
dapat memanfaatkan waktu mudiknya dengan sebaik-baiknya untuk tujuan membangun
silaturahmi tersebut, dengan tetap berharap di tahun depan dapat melaksanakan
kegiatan tersebut lagi secara berkecukupan.