Selasa, 24 Juli 2012

Honda Yamaha Tariiiiiiikkk Mangggggggg


Worry does not empty tomorrow of its sorrow;
it empties today of its strength.
~ Corrie Ten Boom

Melewati beberapa jalan di Jakarta, tak jarang kita mendengar suara musik yang sedikit memekakkan telinga yang keluar dari alat pengeras suara yang dipasang dipinggiran jalan. Musik yang diperdengarkan berkisar lagu rock dan lagu dangdut, dua genre musik yang kadangkala memiliki penggemar yang sangat kontras berbeda dan juga musik yang berada di grey area, oleh karena penggemarnya sangat majemuk dan cukup banyak terutama dari kalangan kaum muda yang cenderung enerjik.

Musik yang diputar bukanlah datang dari sebuah hajatan perkawinan yang biasanya juga mengundang kelompok musik dangdut untuk memeriahkan acara hajatan tersebut, tapi datang dari sekelompok para penjual kendaraan bermotor roda dua yang berusaha menarik perhatian dari pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor untuk singgah atau sekedar membaca brosur harga kendaraan yang dibagikan oleh gadis-gadis cilik yang bertebaran di sepanjang jalan tersebut.
 
Ternyata kiat untuk menjual produk otomotif saat ini tidak seperti cara-cara lama yang konvensional dengan menunggu pembeli berdatangan ke showroom mobil atau motor. Penjual sudah sangat aktif untuk memburu konsumen hingga menggunakan cara-cara yang kadangkala diluar dugaan. Semua area atau lokasi bisa dijadikan tempat untuk menjajakan kendaraan. Tidak hanya di showroom, penjual telah merambah hingga ke mall-mall dan pusat perbelanjaan , event-event publik hingga menjajakan kendaraan  dengan membawa kendaraan langsung dalam mobil bak terbuka dikawasan-kawasan yang ramai pengunjung. Bila kita amati secara lebih seksama, cara menjual produk seperti ini tak beda ibaratnya dengan pedagang “mindring” dari Tasikmalaya Jawa Barat yang menjual produk kelontong kekampung-kampung, langsung ke konsumen, dengan tak lupa buku kecil catatan pelanggan kredit menyertainya.

Begitu gencarnya penjual untuk menggaet pembeli ini tidak hanya menyiratkan begitu ketatnya persaingan di sektor ini, walaupun barang yang dijajakannya tidaklah murah, namun kiat untuk mengunjungi konsumen langsung dan bahkan kadangkala juga menyediakan kendaraan yang siap dicoba menunjukkan bahwa cara-cara konvensional dengan duduk manis menunggu di balik counter showroom bukanlah pilihan yang tepat dipergunakan dalam persaingan yang ketat dewasa ini.

Kecepatan dan kemudahan akses untuk mendapatkan produk serta dapat melihat dan merasakan performa langsung juga menjadi hal yang utama disamping harga dan kemudahan cara serta besaran pembayaran. Bukan rahasia umum bahwa dengan biaya uang muka hanya sebesar Rp. 500.000,- seseorang telah dapat membawa sebuah kendaraan baru pulang kerumah. Banyak arisan kendaraan yang biasa dilakukan di instansi-intansi pendidikan dan pemerintah dengan terpaksa bubar dengan sendirinya, mengingat kendaraan roda dua yang dulunya terasa mewah sehingga membutuhkan mekanisme arisan bergilir untuk mendapatkannya sekarang dapat dilakukan dengan mencicil langsung secara lebih murah, tanpa menunggu giliran untuk mendapatkan kendaraan. Demikian pula leasing dan koperasi-koperasi karyawan yang dahulunya sangat alergi untuk menyediakan atau menjual kendaraan roda dua sekarang sudah menjadi agen penyalur penjualan dengan melakukan kerjasama dengan distributor terdekat. Demikian pula perusahaan banyak yang telah memperluas program benefitnya dengan menyediakan fasilitas Motorcycle Ownership Program (MOP - program kepemilikan kendaraan bermotor) bagi karyawannya.

Sejalan dengan perjalanan waktu, produsen juga mencermati bahwa perubahan prilaku konsumen sangat berpengaruh pada tingkat penjualan termasuk siapa sebagai endorser atau penentu pembelian sebuah produk. Tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi pergeseran penentu pembelian, yang dahulunya sangat ditentukan oleh orang tua sekarang telah bergeser ke generasi mudanya. Perubahan ini juga berdampak pada jenis kendaran yang ditawarkan. Banyak event yang diselenggarakan oleh produsen guna mendukung branding produknya, dari acara yang terkesan mewah nonton bareng GP 500, mendatangkan pembalap asingnya untuk kongkow-kongkow di Indonesia hingga bahkan maraknya acara sekelas jalanan yaitu ‘road race” diselenggarakan dimana-mana. Produsen juga memahami pergerakan dan pertumbuhan gender, terbukti dengan larisnya penjualan motor skutik yang terkenal sebagai motor yang diperuntukkan bagi wanita muda yang enerjik. Dipelopori oleh Jetmatik Kymco, Yamaha mengeluarkan Yamaha Mio untuk mendongkrak penjualannya untuk menyaingi laju penjualan Honda. Melihat peluang yang cukup besar itu, membuat Honda tidak mau ketinggalan dan me-launching Honda Scoopy, untuk meredam sepak terjang Yamaha Mio.

Bila  kita menyimak persaingan di sektor ini tak dapat dipungkiri bahwa ada dua pemain besar yang selalu bersaing untuk mengejar posisi sebagai market leader. Kedua merk tersebut adalah Honda dan Yamaha. Dengan didukung oleh jaringan bisnis yang kuat dari prinsipalnya serta penguasaan jaringan dan distribusi serta after sales service yang cukup mumpuni, kedua merk tersebut silih berganti merajai distribusi dan penjualan kendaraan roda dua di Indonesia. Sebagai gambaran berdasarkan data penjualan yang dimiliki  YMKI (Yamaha Motor Kencana Indonesia-distributor penjualan kendaraan roda dua merk Yamaha) yang dirilis oleh Asosiasi Indiustri Sepeda Motor Indonesia (AISI) terlihat bahwa dari tahun 2005 hingga tahun 2011 terjadi peningkatan yang signifikan dari kedua merk kendaraan ini disamping beberapa merk kendaraan lainnya. Kedua produk saling berusaha merebut posisi sebagai market leader. Dari data menunjukkan bahwa pada tahun 2005 Yamaha berhasil melakukan penjualan sebesar 1.224.669 unit pertahun, atau sekitar 24,2 %, sedangkan Honda melakukan penjualan sebesar 2.648.157 unit atau sekitar 52,4 %, berarti ada 23.4 % dikuasai oleh merek lain. Dari angka tersebut terlihat bahwa total penjualan kendaraan pada saat itu adalah sebesar 5.055.908 unit. Tahun 2006, terjadi peningkatan penjualan di merk Yamaha menjadi 1.458.561 unit atau 32,9 % sedangkan Honda bertahan diangka 2.340.168 unit  atau sekitar 52,8 %. Bila dilihat angka tersebut berarti untuk tahun ini angka penjualan sebesar 4.432.589 unit atau mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Di tahun 2007, Yamaha kembali membukukan peningkatan penjualan menjadi 1.833.506 unit atau sekitar 39,1% sedangkan Honda mengalami penurunan kembali menjadi 2.140.989 unit atau menguasai 45,7% pangsa pasar. Total penjualan tahun 2007 ini berarti sejumlah 4.686.905 unit.

Penjualan kendaraan roda kembali menggeliat di tahun 2008, dimana Yamaha berhasil membukukan penjualan 2.465.546 atau 39,6%, sedangkan Honda kembali bangkit dengan berhasil membukukan penjualan sebesar 2.874.576 unit atau 46,2%, jadi total penjualan tahun ini sebesar 6.297.314 unit. Pada tahun 2009, penjualan Yamaha sebesar 2.650.992 unit sedangkan Honda sebesar 2.701.278 unit. Total penjualan berkisar 5.352.270 unit atau lebih. Pada tahun 2010, penjualan Yamaha sebesar 3.326.380 unit  atay 45,1 % sedangkan Honda sebesar 3.416.049 unit atau 46,4 %, jadi total penjualan tahun ini sebesar 7.368.775 unit.

Bila kita hitung produksi kendaraan bermotor roda dua dari tahun 2005 hingga tahun 2010, menunjukkan angka yang cukup mencengangkan yaitu total produksi kendaraan roda dua adalah sebesar 40.562.536 unit dalam waktu 6 tahun. Suatu pertumbuhan produksi dan penjualan yang spektakuler. Yang menjadi pertanyaan kemanakah kendaraan roda dua ini berada, sedangkan volume ekspor dirasa tidaklah terlalu besar. Sensus pendudk tahun 2010 menunjukkan bahwa total penduduk Indonesia sebesar 237.641.326, sedangkan usia antara 15 hingga 49 tahun (yang diperkirakan mampu dengan baik untuk menggunakan kendaraan roda dua) berjumlah 130.984.460 (Data BPS hasil sensus penduduk 2010), jadi rasio produksi dan penjualan kendaraan bermotor terhadap usia pengguna adalah sebesar 0.31, maka tidaklah mengherankan bila jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar penuh sesak oleh kendaraan roda dua ini, belum termasuk pengguna kendaraan roda empat.

Dengan pertumbuhan penjualan sebesar itu sedangkan pertumbuhan jalan yang hanya sebesar 6,95 % dari 332.730 km di tahun 2004 menjadi 355.856 km di tahun 2008 (sumber : Prof. Firmanzah, Metro News) bisa kita bayangkan rasio jumlah kendaraan roda dua dibandingkan dengan panjang jalan adalah 114 motor / km, dan bila panjang motor rata-rata 1.8 m/motor, berarti bila setiap kendaraan jalan berurutan maka antara 1 kendaraan dengan kendaraan lain hanya membutuhkan 4.86 m jaraknya. Bisa dibayangkan betapa crowded nya jalan raya kita bila semua motor keluar secara bersamaan.

Berdasar data-data statistik diatas maka perlu menjadi perhatian semua stakeholder transportasi dan perhubungan baik itu Kepolisian, Dept. Perhubungan, Dept. Pekerjaan Umum, para pengguna kendaraan, Pemerintah Pusat dan Daerah, Pengamat Pertransportasian dan para Akademisi, Pengusaha Jasa Transportasi, Pengusaha dan Industry otomotif dan Penunjangnya, untuk dapat merumuskan kebijakan strategis secara bersama-sama baik itu yang bersifat umum maupun sektoral. Dept. Pekerjaan Umum sudah harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur jalan serta penunjangnya, dan tetap menjaga pertumbuhan jalan secara rasional. Pemerintah Pusat dan Daerah diharapkan kreatif untuk menciptakan system transportasi masal sehingga bisa meminimalisasi inefisiensi akibat kemacetan jalan raya. Industry Otomotif harus secara kretaif mengembangkan ekspor untuk mengerem penjualan dalam negeri, sehingga pertumbuhan produksi tetap terjaga tanpa mengurangi pemasukan dan lapangan kerja. Aparat Kepolisian, benar-benar dapat menjamin penegakan hukum bagi pelanggaran-pelanggaran transportasi. Pengamat Pertransportasian dan Akademisi  dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi peningkatan layanan dan system pertransportasian melalui kajian-kajian ilmiahnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah pengguna jalan atau masyarakat, harus secara bijaksana dapat menggunakan wahana transportasi yang tepat dan efisien tanpa mengurangi mobilitas yang diperlukan.  Bila semua stakeholder dapat bergerak bersama dengan visi yang sama dan terintegratif dan sinergis maka niscaya permasalahan pertransportasian dapat dipecahkan bersama-sama tanpa satupun merasa kehilangan muka, kehilangan peran ataupun menurun pendapatannya. Tarikkkkkk manggggggg……

Minggu, 22 Juli 2012

Mobokrasi.....


Sangat menarik bila kita amati apa yang terjadi dalam peta perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini, ditandai dengan munculnya partai-partai politik baru, dari yang berwarna merah, hijau, biru, hingga warna yang sulit ditentukan penamaannya karena warnanya tidak familiar bagi masyarakat kebanyakan. Sebagai catatan hingga pemilu 2009, jumlah partai peserta pemilu terdaftar di KPU Pusat adalah 38 partai, dan setelah pemilu terlihat hanya ada  10  partai yang memiliki jumlah pemilih yang cukup besar, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Hanura, Gerindra, dan PDS. Bukanlah hal aneh kiranya banyak anekdot dan joke yang muncul dari begitu menggebu-gebunya para aktor-aktor politik dalam mendirikan partai politik tersebut, dari yang mengatasnamakan  demokrasi hingga yang tersirat seolah-olah  ingin sekedar memanfaatkan  kucuran dana pemilu yang nilainya cukup lumayan untuk membeli segepok mimpi kekuasaan. Terlepas dari phenomena politik tersebut dengan bersandar pada  itikad politik dari masing-masing aktor politik tadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa kemunculan partai-partai politik tadi disebabkan oleh euphoria akibat dibukanya kran pendirian partai politik sejak tumbangnya pemerintahan otoritarian Orde baru tahun 1998.

Bila merunut sejarahnya, fenomena munculnya sistem  multi partai di Indonesia dewasa ini mirip seperti apa yang terjadi beberapa puluh tahun lalu, yang dimulai dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini lahir sebagai salah satu bentuk frustatif para pelaku politik akibat kekhawatiran mereka terhadap dominasi Presiden yang secara pribadi masih mengagungkan  sistem demokrasi terpimpin, dimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang pada saat itu belum terbentuk, tugas-tugasnya dijalankan oleh presiden.  Sistem demokrasi terpimpin yang menempatkan Presiden Soekarno sebagai satu-satunya pihak yang memiliki kekuasaan politik dan militer, dikhawatirkan akan menyebabkan system demokrasi yang bertumpu pada kekuatan rakyat tidak dapat berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, banyak tokoh-tokoh politik yang diperkirakan menjadi pesaing dan berseberangan pemikiran ditangkap dan diasingkan. Hal ini pernah terjadi pada tokoh-tokoh PSI, seperti Syahrir dan Mr. Anak Agung Gde Agung, yang ditangkap dan diasingkan di Madiun Jawa Timur oleh karena perbedaan ideology politiknya. Hal ini juga digerakkan oleh kedekatan Presiden Soekarno terhadap tokoh-tokoh PKI pada saat itu. Oleh karenanya, Hatta melalui maklumatnya mengusulkan untuk membentuk Komite Nasional Pusat sebagai badan legislasi Negara sebagai langkah antisipasi terhadap dominasi Presiden tersebut. Maklumat ini mendorong munculnya partai-partai politik baru, sebagai bagian upaya untuk mendapatkan dukungan politik untuk menduduki jabatan sebagai legislator. Dengan adanya komite ini, maka diharapkan mampu merumuskan kebijakan dan perundang-undangan yang dapat mengontrol sepak terjang Presiden pada saat itu.

Sejalan perkembangan waktu, sistem demokrasi liberal yang ingin diciptakan pada saat itu dan berusaha menegakkan demokrasi yang seutuhnya akhirnya belum bisa menjadi  obat bagi tumbuhnya demokrasi yang lebih egaliter. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun lamanya, Pemerintah yang diisi tokoh-tokoh partai politik silih berganti bertumbangan, pertentangan politik semakin melebar, pembangunan semakin terhambat, sehingga  muncul kekecewaan dari rakyat. Momentum ini, benar-benar dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno saat itu untuk mengeluarkan Dekrit Presiden, pada tanggal 5 juli 1959, yang isinya menegaskan langkah kembali negara pada UUD 1945. Dan ini juga menjadi tonggak kembalinya demokrasi terpimpin. Dengan jargon Bapak Bangsanya, Penyambung Lidah Rakyat, dan Panglima Besar Revolusi, Soekarno kembali menancapkan pengaruhnya ke seluruh sendi-sendi kemasyarakatan. Ditengah percaturan ideologi dunia, Indonesia tumbuh dan terkontrol dalam kerangka demokrasi terpimpin. Dominannya peran presiden lambat laun juga menjadi sorotan dan banyak muncul penentangan. Pertempuran ideologi semakin meruncing disertai juga pertempuran yang bersifat fisik. Kembali rakyat menjadi korban dari pertentangan ini.

Ideologi demokrasi ini kembali teruji ketika tahun 1966, Soekarno dengan terpaksa ‘dilengserkan’ dari tampuk kekuasaan. Tahun 1966, adalah tonggak dimana sebagian besar elemen masyarakat menginginkan adanya perubahan yang mendasar dalam sistem perpolitikan, yang berusaha mencari rumusan jalan tengah antara Demokrasi Terpimpin dan demokrasi Liberal. Dengan jargon Demokrasi Pancasila, Soeharto berusaha menerapkan beberapa konsep demokrasi terpimpin melalui mempertahankan kekuatan presidensial yang kuat, tetapi juga melakukan kompromi dengan membentuk system kepartaian dan menyederhanakannya hanya menjadi 3 partai politik saja. Melalui dukungan komponen kekaryaan yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar, Soeharto mengendalikan semua sendi kehidupan kenegaraan.  Tapi seperti kata Lord Acton “power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, niat untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar seakan-akan kehilangan arah. Soeharto dan kroni-kroninya merajalela menguasai asset-asset ekonomi negara dan membaginya ke lingkaran terdekatnya. Kembali kedaulatan rakyat teraniaya. Power yang absolute tidak benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi dan kroni. KKN merajalela, rakyat semakin terpuruk, kekesalan dan kekesalan mulai merebak di sanubari rakyat. Gerakan ini memuncak bersamaan dengan gejolak perekonomian di Indonesia dan kawasan sekitar yang bergerak menurun secara cepat. Inflasi cukup tinggi, kurs mata uang tak terkontrol pergerakannya, sehingga banyak industri yang mengalami kejatuhan dan banyak karyawan yang harus dirumahkan dan bahkan harus kehilangan pekerjaannya. Dengan dimotori oleh mahasiswa, maka tumbanglah rejim Orde Baru.

Bila kita melihat proses transaksi politik yang ada, kebanyakan awalnya didasarkan pada tujuan ideal. Namun lambat laun kenyataan dilapangan tidak dapat dibuktikan sesuai seperti yang diharapkan. Ternyata akses dan kemudahan dapat  melemahkan idealisme. Uang telah meruntuhkan cita-cita luhur yang hendak dicapai. Kembali yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Pergantian tampuk kepemimpinan hanya membawa dampak positif sesaat.

Demokrasi yang lemah akan memunculkan Mobokrasi. Mobokrasi lahir ketika tokoh-tokoh politik mulai bermunculan dan berusaha dengan segala caranya mencari pengaruhnya di masyarakat sehingga terbentuk pengelompokan-pengelompokan politik. Perebutan pengaruh yang tidak didasarkan etika politik yang santun dan landasan moral yang kuat menyebabkan seringnya kita temukan pertikaian-pertikaian politik yang tajam dari tokoh-tokoh politik yang ada, dan bahkan melibatkan kekuatan massa. Yang kuat akan menjadi pemenang dan kemenangan bagi yang kuat akan memunculkan raja-raja baru yang tidak lagi menjalankan pemerintahan secara demokratis melainkan dengan cara otoriter. Mobokrasi akan melahirkan tirani dan monarki absolute. Apa yang hendak diraih? Semangat demokrasi yang dibangun dikalangan elite politik tentunya akan menjadi boomerang dari esensi paham demokrasi tersebut, bila tidak disertai oleh upaya  pendidikan politik bagi masyarakat, baik sebagai anggota dari partai politik maupun hanya sebagai simpatisan dari partai politik. Kasus yang terjadi di beberapa pemilihan kepala daerah, dimana banyak terjadi kekalahan yang berujung pada anarki, telah menjadi indikator nyata ketidakberhasilan elite politik dalam mensosialisasikan dan mendidik masyarakat untuk dapat hidup dalam harmoni demokrasi seperti halnya esensi dari demokrasi itu sendiri. Jangan-jangan elit politiknya sendiri tidak memahami esensi sebenarnya dari demokrasi itu. Terlepas dari pilihan anggota masyarakat yang dilandasi oleh norma sosio-politiknya yang merupakan keyakinan individual, dapatlah digugat rasanya pemahaman tentang esensi demokrasi yang selalu berujung pada penggunaan tindakan-tindakan kekerasan dalam prakteknya.

Menarik sekali jika kita mau melirik apa yang selalu menjadi catatan  Alm. Dr. Alfian dalam berbagai artikel dan bukunya  mengenai pertumbuhan paham demokrasi, sebagai acuan philosophis dari kemunculan paham ini, sehingga pemaknaan dari esensi demokrasi dapat dicerna oleh masyarakat. Kelahiran paham demokrasi tidak terlepas dari kegagalan penerapan system monarki dan oligarki, dimana rakyat hanya menjadi korban dari proses politik dan kenegaraan yang ada. Revolusi Perancis yang terjadi 14 Juli 1789, telah menjadi tonggak munculnya paham demokrasi, dimana rakyat secara bersama-sama berusaha meruntuhkan penjara Bastille yang menjadi symbol tirani monarki Louis XIV yang memiliki paham L’etat c’est moi – negara adalah saya. Dengan Jargon perjuangan Libertie (kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan), mereka menegaskan keruntuhan paham monarki absolut di Perancis, sehingga terjadi pergeseran pandangan menjadi suara rakyat adalah suara Tuhan.

Dengan keruntuhan paham monarki ini munculah kekuatan-kekuatan baru yaitu buruh, petani dan kaum kapitalis. Ketiga kekuatan tadi mendominasi system politik demokrasi dewasa ini dan menjadi kekuatan-kekuatan politik kepartaian yang berkembang saat ini. Namun kembali kepandangan Lord Acton bahwa kekuasaan absolutlah yang memunculkan tirani. Apapun bentuk system politik yang dianut bila tidak ada yang melakukan control akan memunculkan tirani. Bagaimana dengan kita, adakah kekuatan pengontrol yang kuat dari system politik di Indonesia? Banyak yang berharap pers mampu melakukannya. Tapi kenyataannya sungguh berbeda,  dimana lembaga pers yang kita harapkan sebagai “fourth estate”, ternyata telah menjadi kepunyaan tokoh-tokoh politik yang juga bersaing untuk merebut kekuasaan.  Akankah insan-insan pers bisa menjadi independen ketika pemiliknya terlibat dalam upaya memperoleh kekuasaan. Tentunya optimisme tetap ada, namun sejauh mana itu terbukti, kita kembalikan ke insan pers sendiri untuk merenunginya. Akankah terlarut dalam tarik-menarik pusaran percaturan politik yang ada, ataukah bisa bertindak bebas dan bertanggung jawab bukan kepada pemilik modal atau majikan tetapi sejatinya kepada rakyat, dan juga tak membiarkan mobokrasi menjatuhkan demokrasi…….

Kamis, 12 Juli 2012

Teladan......


Try not to become a man of success but rather try to become man of value
Albert Einstein

Dimana-mana kita sering mendengar orang berbicara tentang keteladanan baik itu di warung-warung kopi, di lingkungan kerja, dalam diskusi-diskusi akademis, bahkan dalam talk show di televisi dan kebanyakan cenderung dengan nada yang sedikit “miring”, ‘miris”, maupun kadangkala diwujudkan oleh munculnya perasaan “missing”. Temanya tak lebih sekitar kekecewaan dan kekhawatiran akan ketiadaan figure yang dapat diteladani dan dapat dijadikan contoh untuk diwujudkan dalam tindakan bersama dalam kehidupan sehari-hari dan juga ketidakpercayaan terhadap figure kepemimpinan yang sudah ada.

Keteladanan secara harfiah dapat dimaknakan sebagai suatu kondisi dimana kita atau siapapun dapat memberikan contoh kepada yg dipimpin atau masyarakat tentang nilai , sikap dan prilaku yang patut diikuti atau nilai-nilai yang bisa dikembangkan sebagai sebuah nilai bersama dalam kelompok ataupun di masyarakat. 

Hari ini, rabu 11 juli 2012, di ibukota negara tercinta kita, sedang dilaksanakan sebuah perhelatan besar untuk memilih DKI 1 sebuah istilah yang diperuntukkan bagi siapapun yang menjabat gubernur di provinsi DKI Jakarta . Pilkada DKI, diakui atau tidak merupakan barometer perpolitikan nasional, sehingga semua partai politik maupun independent menganggap bahwa Pilkada DKI sebagai gambaran Pemilu nasional.  Berdasarkan data survey Indo Barometer yang diris oleh Media Indonesia.com tanggal 12 Juli 2012, dari 6,9 juta penduduk yang memiliki hak pilih  yang menggunakan hak pilihnya hanyalah  62,95 persent. Dari angka tersebut terlihat bahwa ada peningkatan kenaikan Golput sebesar 2 % dari Pilkada tahun 2007. Besarnya angka golput menunjukkan bahwa antusiasme untuk memilih pimpinan daerah sudah mulai menurun. Kekhawatiran ini sebenenarnya sudah dapat diprediksikan dari awal oleh pemerintah hingga tingkat kementerian dalam negeri, sehingga mendorong mendagri mengeluarkan Surat Keputusan No 270-140 tentang Libur Pilkada DKI,  SK kemendagri ini kemudian dilanjutkan oleh keluarnya Pergub No 35 tahun 2012 yang mengatur tentang libur pada saat Pilkada berlangsung. Walaupun isinya sedikit salah kaprah  karena meliburkan perusahaan yang ada di DKI Jakarta , padahal tidak semua karyawannya memiliki hak pilih di DKI Jakarta, namun upaya ini diharapkan sedikit membantu untuk mengurangi kecenderungan Golput oleh karena tuntutan pekerjaan. 

Kekhawatiran ini terasa wajar ditengah kecenderungan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan pemimpin politik saat ini. Survey yang dilaksanakan oleh CSIS di awal tahun 2012 yang dirilis oleh Antara News pada tanggal 13 Pebruari 2012 menunjukkan tingkat penurunan kepercayaan terhadap partai politik cenderung meningkat. Tiga partai besar yang sedang dan pernah berkuasa yaitu partai Demokrat, PDI dan Golkar mengalami penurunan yang siginifikan sejak Pemilu tahun 2009, dan bahkan 48,4% pemilih tidak memiliki pilihan ketika ditanya partai mana yang akan dipilih. Kepercayaan terhadap pemimpin yang berakar dari partai nampaknya mulai menurun. Hal ini juga disebabkan sejak era reformasi semakin banyak elit-elit partai yang terlibat dalam korupsi secara masiv.

Kemenangan Joko-Wi dan Ahok dalam quick count pilkada DKI Jakarta menunjukkan terjadinya pergeseran pada detik-detik terakhir pemilih”swing voters’  terhadap kandidat yang dipilihnya. Kekuatan figure kandidat nampak lebih dominan dalam proses pilkada saat ini, tokoh-tokoh independen ternyata bisa mengungguli tokoh-tokoh dari partai yang memiliki dukungan financial yang kuat. Kembali ke aspek keteladanan, kurangnya figure yang dapat dipercaya akan berdampak buruk pada perkembangan demokrasi, apalagi figure-figure tersebut berasal dari parpol. Bila ketidakpercayaan terhadap parpol semakin melebar, dapat dibayangkan pergerakan mesin demokrasi akan lambat laun terhenti. Seburuk-buruknya eksistensi parpol, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan parpol lebih dapat mengontrol pergerakan bola-bola liar perpolitikan dan kekuasaan yang ada, daripada semua kandidat berasal dari jalur independen.

Yang menjadi PR besar bagi partai politik adalah bagaimana menjaring kader-kader yang secara umum dikenal bersih dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Semakin banyak mereka memiliki kader-kader seperti itu, semakin terbangun rasa percaya dari masyarakat. Masyarakat yang madani dan modern, pada dasarnya tidak lagi membutuhkan jargon-jargon serta janji-janji kampanye, mereka lebih mengutamakan figure mana yang muncul. 

Figure yang tepat tentunya tidak hanya figure yang terkenal kesuksesannya di bidang ekonomi dan karena kekayaan finansial serta berdasarkan garis keturunan dan kekerabatan  tetapi figure pemimpin harus bisa menciptakan nilai-nilai keteladanan positif yang tepat bagi masyarakat. Keteladanan yang ditunjukkan melalui prilaku kepemimpinan sehari-hari, bukan hanya melalui perkataan saja. Pemimpin harus ‘walk the talk’, sesuai antara perkataan dan perbuatan. Pemimpin yang gagal, adalah pemimpin yang tak mampu mengontrol hawa nafsunya, keserakahannya, niat negatifnya, serta kehausannya akan prestise dan kekuasaan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyelaraskan kekuatan intelektualnya, kekuatan emosionalnya serta keyakinan akan nilai-nilai Ketuhanan, dan merealisasikannya dalam tindakan sehari-harinya. 

Ternyata untuk menjadi pemimpin yang memiliki karakter positif tidaklah mudah, pertentangan bathin sebagai manusia normal serta pengaruh lingkungan yang cenderung lebih besar kadangkala membuat pemimpin yang tadinya memiliki integritas tinggi lambat laun tergerus oleh dorongan eksternal yang kuat. Pemimpin harus menamengi dirinya dari kepentingan eksternal yang kurang baik. Dan demi pencarian figure yang tepat, lingkungan hendaknya dapat membantunya. 

Secara sederhana untuk menjadi pemimpin yang baik, hendaknya menghindarkan prilaku2 yang kontradiktif. Menyarankan untuk tidak korupsi, tapi justru melakukan. Menyarankan untuk berbagi, tetapi justru pelit. Menyarankan untuk selalu berbuat baik, tapi mengingkari. Berniat menjadi pelayan, justru minta dilayani. Menyarankan untuk disiplin tapi menjadi orang pertama yang melanggarnya. Akankah figure ini dapat dipercaya dikemudian harinya? Saya yakinkan jawabannya adalah tidak, walaupun awalnya muncul kepercayaan, tapi lambat laun jal tersebut akan segera memudar. Jadi mencari pemimpin yang baik pada dasarnya langka, namun ditengah kelangkaan tersebut kita masih meyakini bahwa hal itu ada.

Secara kenergaraan dan kebangsaan, payung hukum terhadap munculnya figure-figure independent serta berasal dari parpol yang memiliki kredibilitas dan integritas yang baik harus diciptakan, mengingat di era perpolitikan tidak menutup kemungkinan akan ada upaya jegal-menjegal kepentingan karena berkaitan dengan kekuasaan dan uang. Disamping itu para penjahat politik dan pelaku criminal yang terlibat dalam praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan nepotisme semaksimal mungkin tidak diijinkan untuk bebas melakukan sepak terjangnya dan bahkan dipilih sebagai menjadi pemimpin ataupun wakil rakyat. Pendidikan politik yang baik perlu digalakkan, sehingga mata rakyat akan semakin terbuka lebar ketika memilih figure wakil dan pemimpinnya.
Perlu adanya gerakan moral bersama untuk menggaungkan kepemimpinan yang berintegritas, memiliki character yang baik, bertindak berdasarkan nilai-nilai moral dan hukum, serta mampu menjadi teladan positif bagi masyarakat. Masyarakat yang sadar haruslah menjadi penggerak moral dari proses pencarian ini dan tidak hanya diam dan pasrah, walaupun diam dan pasrah juga merupakan pilihan…now or never…

Rabu, 04 Juli 2012

Bila pekerja adalah preman.....


The difference between genius and stupidity is that genius has its limits
Albert Einstein

Premanisme adalah musuh masyarakat. Premanisme secara otomatis berkaitan langsung dengan anarkisme bila ada upaya-upaya untuk memaksakan kehendak dengan bergaya kekuatan. Beberapa hari terakhir ini kita melihat semakin merebaknya premanisme dan anarkime di lingkungan sekitar, tidak hanya di lingkungan rumah, di masyarakat, di sekolah, bahkan sudah sampai di lingkungan tempat kerja. Pada dasarnya premanisme ini berkaitan dengan sikap dan prilaku kita sehari-hari, nilai-nilai yang kita anut dan kembangkan sehari-hari dilingkungan keluarga dan masyarakat, yang kita munculkan dalam bentuk tindakan. Merupakan suatu hal yang sangat mengenaskan ketika kita memiliki cita-cita yang baik kita lakukan melalui cara-cara yang kurang baik. Cara-cara yang menentang keadaban, menentang logika kemasyarakatan, menentang logika kebenaran atas konsep-konsep kemanusiaan dan ketuhanan. Premanisme dimanapun harus dibasmi.

Sangat disayangkan bila itu terjadi dikalangan orang-orang yang mengaku terpelajar, orang-orang yang mengaku berpendidikan, orang-orang yg bekerja di sector formal, orang-orang yang seharusnya memiliki tingkat intelektual yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang hidup dijalanan. Akankah ini kita biarkan? Akankah kita berikan peluang untuk tumbuh?

Premanisme adalah prilaku kolektif atau bisa menjadi prilaku kolektif bila tidak muncul kesadaran dari diri pribadi setiap orang untuk melakukan perbaikan dan menyadari bahwa hal tersebut adalah suatu yang salah. Kadangkala pembelaan terhadap diri  dan orang lain menjadi jargon pembenaran untuk melakukan premanisme. Orang yang memiliki kerangka pemikiran preman kita yakini memiliki kecerdasan emosional yang sangat rendah. Akankah kita terpaku? Akankah kita terbodohi oleh kondisi seperti  itu? Kuncinya adalah kesadaran masing-masing individu yang ditumbuhkan oleh karena adanya kebutuhan perbaikan kedepan dan perasaan kebersamaan.

Cita-cita yang didomplengi oleh keinginan-keinginan terselubung untuk mendapatkan pendapatan pribadi yang lebih dengan cara-cara kekerasan, melakukan pungli, pemerasan terstruktur, mengancam sesuatu untuk menyerahkan sesuatu atas dasar  menyenangkan emosi adalah premanisme terselubung dan kamuflase atas penderitaan orang lain. Oleh karena itu setiap orang harus bersadar diri sepenuhnya bahwa hidup ini  adalah suatu hal  yang harus diilhami oleh keinginan yang tulus untuk kedamaian dan juga niat untuk selalu melakukan perbuatan baik. Premanisme adalah sebuah kejahatan. Perbuatan seperti itu sangat disayangkan terjadi juga didalam lingkungan kerja dimana  pemaksaan kehendak dengan segala cara, menghalalkan prilaku-prilaku buruk dan kekerasan, mengundang pihak-pihak luar kedalam lingkungan kerja untuk melakukan dis-harmoni dan akan merusak asset-asset perusahaan dan asset yang harus dijaga bersama, adalah suatu yang sangat-sangat tidak terpuji dan harus dikutuk. Apa yang didapat dari proses itu , kebanggaankah? Kecerdasankah?,  yg tertampil hanya kebodohan semata, membakar lumbung yang menjadi sumber penghidupan semuanya.

Mari kita ciptakan harmoni dilingkungan kerja dengan cara yang santun dan beradab, dengan cara yang tidak anarkis, dengan cara yang mengutamakan kedamaian atas prinsip-prinsip kemasyarakatan dan Ketuhanan. Perusahaan adalah periuk nasi bersama sebagai karyawan, bukan periuk nasi orang lain yang bersedia berkoar-koar diluar, dengan berharap keuntungan dari kekisruhan. Masa depan perusahaan sangat bergantung dari masa depan kita bersama, bukan masa depan para preman yang kadangkala  berkedok oknum karyawan. intinya adalah masa depan kita sangat bergantung pada masa depan Perusahaan, dan demikian juga sebaliknya, masa depan Perusahaan sangat bergantung pada masa depan kita bersama. 

Pembelajaran terbaik adalah dari lubuk hati…