Peringatan Hari Buruh
Sedunia , yg selalu dirayakan tanggal 1 Mei setiap tahunnya, acapkali dijadikan
momentum bagi buruh/pekerja di Indonesia maupun di dunia dalam menggaungkan
ide-ide perjuangan buruh melalui upaya
menempatkan buruh dalam posisi yang sama
dan berimbang dalam konteks mikro maupun
makro ekonomi, serta dalam konteks social dan politik negara. Walaupun kebanyakan
ide tersebut belum mampu diterapkan secara nyata dalam rangka perjuangan
hak-hak untuk mendapatkan porsi yang adil dalam hubungan ketenagakerjaan, namun
semangat untuk selalu menggaungkan ide-ide tersebut setiap tahunnya tidaklah
pernah pudar.
Bila
kita cermati pergerakan pekerja dan
serikat pekerja/buruh di Indonesia secara lebih mendalam, maka kita temukan
banyak sekali fenomena yang cukup menarik dari kemunculan serikat pekerja.buruh
serta ide-ide yang diperjuangkannya. Berkaitan atau tidak dengan pertumbuhan
serikat buruh/pekerja di dunia, sejak krisis moneter tahun 1998, banyak sekali
tumbuh serikat buruh/pekerja baru di Indonesia, yg memiliki keinginan awal untuk membantu para pekerja dalam
memperjuangkan haknya sebagai akibat PHK besar-besaran yang dialami pada saat
itu, dimana jutaan pekerja tidak memperoleh pesangon yang memadai dan hilangnya sumber pendapatan rutin mereka
secara tiba-tiba. Para pengusaha yang juga mengalami krisis, tidak sanggup
membayar pesangon bagi para pekerjanya, dan guna mengamankan bisnisnya,
berupaya melakukan efisiensi dan restrukturisasi bisnis, yang berdampak tidak
hanya penutupan usaha tapi juga pengurangan tenaga kerja.
Dalam
konteks penyelamatan bisnis tentunya sah-sah saja bagi pengusaha untuk
melakukan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja, namun upaya tersebut
tidaklah mudah dapat diterima oleh logika pekerja. Walaupun beberapa perusahaan
besar menyatakan bahwa pengurangan karyawan merupakan langkah terakhir, namun
realita bisnis saat itu menunjukkan data yang bertentangan dimana angka-angka
pengangguran meningkat secara signifikan.
Tumbuhnya
serikat pekerja ini juga diwarnai oleh ketidak percayaan para pekerja kepada
satu-satunya wadah tunggal serikat pekerja/buruh pada saat itu (FSPSI) berdiri tahun 1973, yang lebih dipandang
sebagai perpanjangan tangan rejim orde baru dalam mengontrol peran
pekerja/buruh, dan lebih sebagai upaya kamuflase kepentingan komunikasi
internasional dimana dengan adanya FSPSI memberikan pesan bahwa pemerintah Indonesia
tidak alergi adanya serikat pekerja atau tidak melarang berdirinya serikat pekerja di
Indonesia. Walaupun di awal tahun 90-an telah berdiri 2 serikat buruh
independen yaitu Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) tahun 1990 dibawah
pimpinan HJC. Princen, dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tahun 1992
dibawah pimpinan Mochtar Pakpahan, tetapi keduanya tidaklah diakui oleh
pemerintah. Angin segar berhembus ketika pemerintah melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 5 tahun 1998, melakukan reformasi perburuhan dengan memberikan
keleluasaan berdirinya Serikat Buruh, sekaligus meruntuhkan rejim tunggal
organisasi buruh di Indonesia. Momentum ini benar-benar dimanfaatkan oleh para
tokoh serikat pekerja pada saat itu, yang tidak mendapatkan ruang yang cukup
pada masa orde baru sebelumnya.
Reformasi
perburuhan ini diperkuat oleh adanya ratifikasi terhadap Konvensi ILO no. 87
tentang kebebasan berserikat oleh pemerintah B.J. Habibie dan semakin diperkuat
oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan diundangkannya Undang Undang No. 21
tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus tahun 2000, tentang Undang-Undang Serikat
pekerja yang mengatur tata pembentukan, keanggotaan , pemberitahuan dan
pendaftaran serta hak dan kewajiban pekerja dan serikat pekerja. Manfaat dengan
dibukanya kran ini bagi pemerintah adalah banyaknya organisasi yang bisa
menampung bola “liar” masalah-masalah perburuhan pada awal krisis ini dan bisa
menyalurkan secara konstruktif dan terstruktur kepada pemerintah sehingga tidak berujung pada demontrasi yang cenderung
mengarah kepada anarki, yang dapat merugikan perkembangan bisnis saat itu.
Disisi
lain eforia kebebasan berserikat yang diterima oleh pekerja/buruh belumlah
searah dengan visi pemerintah tersebut. Pekerja lebih fokus pada 2 isu real
saat itu yaitu bagaimana mendapatkan pekerjaan dengan lebih mudah, menggeser
posisi dari pengangguran menjadi status bekerja serta bagaimana mempertahankan pertumbuhan upah yang
selalu mereka anggap tertinggal dibandingkan dengan pertumbuhan harga-harga
kebutuhan pokok. Oleh karena itu, maka pertumbuhan keanggotaan Serikat
pekerja/buruh pada awal reformasi cenderung tumbuh pada sektor industri yang
cukup rentan terhadap krisis yaitu sektor manufaktur, pertambangan dan
perkebunan, dan juga sector perbankan.
Peran
serikat buruh pada fase awal cenderung idealistik, dengan memperjuangkan
ide-ide yang cukup “membumi” seperti penentangan terhadap PHK, kenaikan upah
serta perluasan lapangan kerja. Ibarat “api” dalam “minyak” pekerja, ide
tersebut sangat mudah dapat diterima oleh para pekerja. Namun ada nuansa
kontradiktif, walaupun pertumbuhan serikat pekerja/buruh cukup subur, namun
dirasa mereka masih bermain dalam “periuk” yang sama. Banyak serikat
buruh/pekerja yang berebut anggota pada satu perusahaan yang sama, sehingga
fenomena satu perusahaan terdiri lebih dari satu serikat pekerja/buruh mulai
bermunculan pada fase-fase awal perkembangannya. Data resmi menunjukkan hingga
akhir tahun 2007 ada 3 Konfederasi Serikat pekerja (KSPSI, KSBSI dan KSPI) dan
tercatat ada 86 federasi SP/SB, serta ribuan SP/SB dalam lingkup perusahaan
(SPTP). Sedangkan secara Nasional berdasarkan data terbaru Pusdatinaker
Depnakertrans RI, tahun 2008, tercatat dan telah secara resmi didaftarkan
sebanyak 12.138 Serikat pekerja, 160
Federasi Serikat Pekerja dan 56 Konfederasi Serikat Pekerja yang memiliki
perwakilan disebagian besar provinsi di Indonesia (jumlah ini bisa merupakan
afiliasi terhadap konfederasi yg sama).
Sejalan
dengan perkembangan waktu, Arah perkembangan SP dan SB semakin meluas yang
tadinya hanya bergerak di sektor manufaktur lambat laun meluaskan jaringannya
hingga ke sektor Jasa perdagangan,
keuangan, transportasi, pos, kelistrikan,perkebunan, dan lain-lain, dan bahkan
juga pada perusahaan-perusahaan yang berstatus badan usaha milik negara.
Demikian juga eskalasi keanggotaanya, tidak hanya kaum kerah biru (pekerja
level bawah) tapi sudah merambah kaum kerah putih (eksekutif atau manajerial).
Dampak pergeseran ini terlihat dari pola pengembangan SP/SB yang cenderung
lebih modern dan progresif. Pada awalnya SP dan SB dominan di pimpin oleh
tokoh-tokoh informal yang memiliki kesan kepemimpinan yang berakar kuat, oleh
karena tumbuh dalam iklim yang sama dan bener-benar dari bawah. Ide perjuangan
cenderung bersifat mikro berdasarkan phenomena nyata kehidupan pekerja di dalam
sebuah perusahaan. Penyelesaian konflik industrial antara pekerja dan pengusaha
merupakan tempat yang empuk bagi pemimpin buruh informal ini, dan merupakan
ajang pencitraan diri guna posisi pada level yang lebih tinggi. Namun sejalan
dengan perkembangan waktu, pemimpin SP/SB saat ini telah dipimpin oleh
tokoh-tokoh buruh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan bahkan banyak
diantaranya merupakan lulusan-lulusan perguruan tinggi asing, memiliki jaringan
internasional yang kuat yang sangat memudahkan dalam pendanaan perjuangan
mereka. Oleh karenanya, ide-ide yang dikembangkan tidak lagi bersifat mikro
(dalam satu perusahaan), cenderung lebih makro dalam tatanan pemikiran
perburuhan nasional. Posisi kepemimpinan buruh tersebut, memiliki posisi tawar
yang lebih kuat dari pada pemimpin-pemimpin buruh sebelumnya. Oleh karenanya
banyak sekali tokoh buruh dewasa ini menjadi incaran partai-partai politik,
yang tidak hanya ingin mendapatkan ide-ide perjuangan buruh tetapi juga harapan
dukungan yang bersifat masiv dari anggota serikat buruh yang dipimpinnya.
Dalam konteks dukungan yang masiv
ini, dimana disertai kemunculan figure-figure pemimpin buruh yg kharismatis,
juga menjadi ajang “lirikan” dan perebutan kepentingan dari parpol yang ada. Ini tidak terlepas dari
tiga orientasi yg menjadi focus dari perjuangan Buruh yaitu perjuangan kelas, perjuangan social dan pasar.. Banyak tokoh
buruh yg memiliki kedekatan fisik dan bathiniah dengan partai politik tertentu,
dan bahkan tidak sedikit yang tergoda masuk ke jalur birokrasi dengan menjadi
penasehat di lembaga2 pemerintah yg mengelola masalah ketenagakerjaan dan juga komisaris
di beberapa BUMN. Dengan masuknya buruh dalam lingkaran politik diharapkan
perwakilan Buruh dapat mengimplementasikan strategi perjuangan kelas yg dapat
mempengaruhi proses dan output kebijakan politik di bidang perburuhan. Pergeseran
kepentingan dari pergerakan buruh yg awalnya hanya bermain dalam tataran
organisasi perusahaan lambat laun bergerak kearah pembuatan kebijakan.
Sejak di lahirkannya UU yg mengatur
pendirian serikat pekerja, banyak serikat pekerja baru muncul oleh karena
mudahnya syarat pendirian serikat pekerja/buruh yg hanya membutuhkan minimal 10
pendukung, juga banyak para pekerja yg merasa tidak terwakili kepentingannya oleh
serikat pekerja yang ada. Akibatnya seringkali kita temui di satu perusahaan
terdiri lebih dari satu serikat pekerja. Tentunya hal ini sedikit merepotkan pengusaha
ketika harus menghadapi lebih dari satu serikat pekerja dalam perusahaan yg
belum tentu memiliki visi dan misi yg sama dalam pengembangan organisasinya.
Perang ide dan gagasan seringkali muncul diantara serikat pekerja dalam rangka
memperoleh dukungan dari anggotanya, anggota serikat pekerja lainnya, maupun
dari pekerja yg belum bergabung dalam serikat pekerja. Yang terjadi adalah
sering berlarut-larutnya pengambilan keputusan dalam rangka penyusunan PKB oleh
karena keinginan untuk menempatkan misi Perjuangkan
pasar dimana para pekerja ingin diposisikan sebagai elemen kunci dari
kemajuan perusahaan dan pembela pekerja lain dalam hal kesejahteraan.
Perjuangan buruh dalam konteks pasar
dan kelas, telah merobohkan tembok-tembok pembatas keorganisasian perusahaan.
Banyak serikat buruh yg berafiliasi dengan serikat buruh diluar perusahaan dan
ini menunjukkan adanya keinginan bahwa perjuangan buruh tidak hanya berhenti
pada tataran perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka ingin berperan sebagai
agen social, yang berusaha menghubungkan peran personal mereka dengan peran
social mereka di masyarakat. Oleh karena itu banyak sekali isu-isu dalam satu
perusahaan dapat dengan mudah menggelinding ke perusahaan lainnya. Wujud
eksistensi dan pengakuan social sering mewarnai berbagai demo buruh atau
pekerja akhir2 ini. Banyak kita temui, demo buruh yang menutup akses-akses
public oleh karena perjuangannya ingin dikenal atau diketahui oleh masyarakat,
walaupun bentuknya cenderung tak simpatik, namun beberapa demo yg terjadi
sempat membuat ‘gerah’ birokrasi pembuat keputusan. Ekses dari perjuangan
social juga ada, banyak sekali juga kita dengar, buruh/pekerja yg mengalami
bentrok dengan pekerja lain oleh karena kesalahpengertian tentang peran social
itu sendiri. Sweeping-sweeping liar banyak dilakukan untuk menarik simpati, yg
sebenarnya tidak simpatik.
Begitu energik dan masivnya gerakan
buruh/pekerja ini, membuat beberapa perusahaan menjadi lebih concern terhadap
gerak-gerik pekerjanya. Langkah-langkah restrukturisasi organisasi dan program
dilakukan secara energic dan masiv juga. Banyak perusahaan membentuk departemen
atau seksi yg mengelola langsung masalah organisasi pekerja ini. Mereka merasa
perlunya adanya organisasi yg berinteraksi secara intens dengan pekerja.
Perkembangan ini sedikit merisaukan dari sudut pandang komunikasi oleh karena
peran-peran komunikasi yg dahulunya dilakukan oleh atasan sedikit demi sedikit
bergeser kearah serikat pekerja. Akibatnya pola komunikasi atasan cenderung
yang bersifat formal yaitu yg berkaitan dengan tugas dan target kinerja saja.
Bila dicermati resiko yang dihadapi
oleh pengusaha terhadap phenomena perburuhan ini tentunya semakin meningkat.
Oleh karenanya banyak perusahaan menempatkan masalah ini sebagai bagian dari resiko
bisnisnya (Risk Management). Apakah itu Risk
management dalam konteks hubungan industrial? Dalam penataan peran hubungan
industrial, perlu disiapkan adanya satu platform bersama yang berisikan
pemetaan terhadap kondisi bisnis dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menghalangi proses bisnis dapat berjalan dengan baik dilihat dari perspektif
ketenagakerjaannya. Menyatupadankan
antara pemetaan kondisi saat ini dengan kondisi harmonisasi pada masa yang akan
datang menjadi PR bagi semua lini manajerial. Manajemen puncak organisasi sangat meyakini
bahwa harmonisasi dan kondusiftnya hubungan antar stake holder adalah salah
satu kunci utama keberhasilan organisasi perusahaan tersebut.
Oleh karena ini banyak program
dirancang oleh bagian hubungan industrial, baik itu sendiri maupun bersama-sama
serikat guna menjaga hubungan yg harmonis ini. Secara konseptual risk management
dalam konteks hubungan industrial dibagi menjadi dua kajian yaitu internal risk
dan external risk. Internal risk adalah resiko yg mungkin muncul akibat
stimulus yang datangnya dari dalam organisasi seperti resiko yg berkaitan
dengan produksi, penjualan, kebijakan pengelolaan organisasi serikat pekerja,
komunikasi keorganisasin dan juga event-event perusahaan. Sedangkan external
risk lebih mengacu kepada resiko yg muncul dari luar, sepertinya
perubahan-perubahan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, ketenagakerjaan,
maupun di bidang siosial politik. Kesemua risk ini haruslah di petakan dan
dijadikan kerangka pijakan dalam merumuskan kebijakan perusahaan secara umum
maupun yg khusus menyangkut ketenagakerjaan.
Isu- isu sentral perjuangan buruh
saat ini, selain system pengupahan adalah terutama berkaitan dengan keamanan
bekerja, status karyawan outsourcing dan jaminan social bagi pekerja. Isu ini
sangat keras gaungnya, oleh karena itu setiap perusahan mersa perlu untuk
menempatkan isu ini sebagai pemetaan yg utama dari risk managementnya. Setiap
perusahaan hendaknya menempatkan risk management dibidang hubungan industrial
sebaga salah satu “rambu-rambu” yang mengguide organisasi menuju arah yang
lebih baik, dengan meniciptakan program-program yg tepat dan menempatkan focus
hubungan industrial sebagai suatu yg penting dan bukan yg bersifat sambilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar